Jumat, 11 Mei 2012

SUKARNO DAN ISLAM SONTOLOYO


SUKARNO DAN ISLAM SONTOLOYO
Oleh: Roso Daras

Tahun 1940, Bung Karno sudah dikenal luas sebagai tokoh pergerakan, lokomotif perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagian masyarakat juga mengenal Bung Karno melalui tulisan-tulisannya yang tajam dan kritis di berbagai media massa cetak. Bersama teman-teman seperjuangan, Bung Karno menerbitkan majalah Fikiran Ra’jat di Bandung. Selain menulis rutin, sesekali Bung Karno juga melukis karikatur. Selain itu, Bung Karno juga menulis berbagai artikel di berbagai media massa cetak.
Pernah satu ketika, di tahun 1940, Bung Karno menulis artikel di majalah Panji Islam berjudul “Islam Sontoloyo”. Saya mencoba mencari literatur tentang makna, arti, pengertian harfiah “sontoloyo”. Agak susah mendefinisikan…. Ia seperti sebutan lain semisal “semprul”, “abal-abal”, “gombal”, “preketek”… saya kira masing-masing daerah punya idiom sendiri-sendiri untuk menggambarkan pengertian itu secara lebih pas dan membumi.
Dalam tulisan tersebut, Bung Karno sejatinya menggugat perilaku masyarakat Islam, mulai dari ulama hingga jemaah yang semata hanya mengagungkan fiqh atau fikih. Banyak perbuatan yang keliru bahkan berkonsekuensi dosa menurut ajaran Islam itu sendiri, tetapi dihalalkan dengan sarung fikih.
Yang menarik, Bung Karno mengutip hampir utuh sebuah berita guru mengaji yang mencabuli murid-muridnya, yang dimuat di suratkabar Pemandangan. Dituturkan, ihwal kelakuan si guru ngaji yang menjalankan salah satu ritual pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib hingga subuh. Sebelumnya, mereka harus meneriakkan kalimat “Saya muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka.
Setiap murid perempuan, sekalipun anak-anak, wajib menutup muka. Dalam mengaji, mereka dipisah dari para murid laki-laki. Dimulailah pelajaran dari bab “perempuan itu boleh disedekahi”. Akan tetapi, karena perempuan tidak boleh dilihat laki-laki (kecuali suami), maka itulah mereka diwajibkan menutupi mukanya. Nah, bagaimana sang guru bisa “menyedekahi” murid-murid yang perempuan?
Di sinilah sang guru menjelaskan, perlunya para murid itu “dimahram dahulu”. Artinya, perempuan-perempuan itu mesti dinikah olehnya. Maka, yang jadi kiyainya, ia juga, yang jadi pengantinnya, ia juga. Caranya?
Kalau seorang murid lelaki yang punya istri, pertama, si suami diminta menjatuhkan talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki lain (kawan muridnya juga), kemudian menalaknya lagi, berturut-turut tiga kali dinikahkan dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya sendiri.
Sedangkan yang gadis, tidak dinikahkan dulu, melainkan langsung dinikahi sang kiyai. Bung Karno menyebut kiyai model ini dengan sebutan “Dajal”. Dengan demikian, tiap-tiap istri yang jadi muridnya, di mata murid yang lain pun, adalah istri daripada si Dajal itu sendiri. Termasuk kisah di Pemandangan itu. Di mana seorang gadis yang sudah dinikahi, dimasukkan ke bilik dan di situlah dirusak kehormatanya. Halal, dianggap sah, karena sudah diperistri!
Bung Karno lantas menulis, jikalau berita di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah di sini kita melihat Islam Sontologo! Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh. Tak ubahnya dengan tukang merentenkan uang yang menghalalkan ribanya.
Di pandangan Bung Karno, praktik Islam Sontoloyo itu ibarat orang yang main-main kikebu dengan Tuhan. Dalam bahasa lain, orang yang mau main kucing-kucingan dengan Tuhan. Dalam kalimat lain, seperti orang yang hendak meng-abu-i mata Tuhan. Bung Karno lantas menguraikan, Islam tidak menganggap fiqh sebagai satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utama terletak pada ketundukan jiwa kita kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar