Sabtu, 12 Mei 2012

Pahamilah semua sebelum bertindak



SYIIRAN GUS DUR


ASTAGHFIRULLOH ROBBAL BAROOYAA
ASTAGHFIRULLOH MINAL KHOTOOYAA
ROBBII ZIDNII 'ILMANNAFI'AA
WAWAFIQNII 'AMALANSOOLIHAA

YA ROSULOLLOOH SALAMUN ALAIK
YA ROFFI 'ASSHYAANI WADDAROJI
'AT FATTAYAJIIROTAL 'ALAMI
YA UHAILALJUUDI WALKAROMI
YA UHAILALJUUDI WALKAROMI

NGAWITI INGSUN NGLARAS SYI’IRAN
KELAWAN MUJI MARING PENGERAN
KANG PARING ROHMAT LAN KENIKMATAN
RINO WENGINE TANPO PITUNGAN
RINO WENGINE TANPO PITUNGAN

DUH BOLO KONCO PRIO WANITO
OJO MUNG NGAJI SYARE’AT BLOKO
GUR PINTER DONGENG NULIS LAN MOCO
TEMBE MBURINE BAKAL SANGSORO
TEMBE MBURINE BAKAL SANGSORO

AKEH KANG APAL QUR’AN HADITSE
SENENG NGAFIRKE MARANG LIYANE
KAFIRE DEWE GAK DIGATEKKE
YEN ISIH KOTOR ATI AKALE
YEN ISIH KOTOR ATI AKALE

GAMPANG KABUJUK NAFSU ANGKORO
ING PEPAHESE GEBYARE DUNYO
IRI LAN MERI SUGIHE TONGGO
MULO ATINE PETENG LAN NISTO
MULO ATINE PETENG LAN NISTO

AYO SEDULUR JO NGLALEKAKE
WAJIBE NGAJI SAK PRANATANE
NGGO NGANDELAKE IMAN TAUHIDE
BAGUSE SANGU MULYO MATINE
BAGUSE SANGU MULYO MATINE

KANG ARAN SHOLEH
BAGUS ATINE
KERONO MAPAN SARI NGILMUNE
LAKU THORIQOT LAN MA’RIFATE
UGO HAKEKOT MANJING RASANE
UGO HAKEKOT MANJING RASANE

ALQUR’AN QODIM
WAHYU MINULYO
TANPO TINULIS ISO DIWOCO
IKU WEJANGAN GURU WASKITO
DEN TANCEPAKE ING NJERO DODO
DEN TANCEPAKE ING NJERO DODO

KUMANTHIL ATI LAN PIKIRAN
MRASUK ING BADAN KABEH JEROAN
MUKJIZAT ROSUL DADI PEDOMAN
MINONGKO DALAN MANJINGE IMAN
MINONGKO DALAN MANJINGE IMAN

KELAWAN ALLOH KANG MOHO SUCI
KUDU RANGKULAN RINO LAN WENGI
DITIRAKATI DIRIYADHOHI
DZIKIR LAN SULUK JO NGANTI LALI
DZIKIR LAN SULUK JO NGANTI LALI

URIPE AYEM
RUMONGSO AMAN
DUNUNGE ROSO TONDO YEN IMAN
SABAR NARIMO NAJAN PAS-PASAN
KABEH TINAKDIR SAKING PENGERAN
KABEH TINAKDIR SAKING PENGERAN

KELAWAN KONCO
DULUR LAN TONGGO
KANG PODO RUKUN OJO GAE SIO
IKU SUNAHE RASUL KANG MULYO
NABI MUHAMMAD PANUTAN KITO
NABI MUHAMMAD PANUTAN KITO

AYO NGLAKONI SEKABEHANE
ALLOH KANG BAKAL NGANGKAT DRAJATE
SENAJAN ASHOR TOTO DHOHIRE
ANANGING MULYO MAQOM DRAJATE
ANANGING MULYO MAQOM DRAJATE

LAMUN PASLASTRO ING PUNGKASANE
ORA KESASAR ROH LAN SUKMANE
DEN GADANG ALLOH SWARGO MANGGONE
UTUH MAYYITE UGO ULESE
UTUH MAYYITE UGO ULESE

YA ROSULOLLOOH SALAMUN ALAIK
YA ROFFI 'ASSHYAANI WADDAROJI
'AT FATTAYAJIIROTAL 'ALAMI
YA UHAILALJUUDI WALKAROMI
YA UHAILALJUUDI WALKAROMI

Biografi Singkat GUS DUR


Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.

Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren.

Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya.

Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.

Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.

LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.

Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat.

Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.

Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang.

Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.

Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.

Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.

Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU.

Reformasi NU

NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU.

Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur.

Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini.

Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial.

Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah.

Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar.

Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia.

Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.

Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim.

Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie.

Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.

Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.

Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.

Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta.

Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.

Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode berikutnya.

Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan Soeharto.

Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan pemerintah, Soerjadi.

Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU.

Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena stroke pada Januari 1998.

Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi.

Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru.

Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.

Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur.

Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM.

Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.

Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik.

Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya.

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.

Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai kandidat.

Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput.

Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.

Kehidupan pribadi

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.

Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.

Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.

Penghargaan

Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial.

Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.

Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM.

Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.

Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu:

- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)

- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)

- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)

- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)

- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)



Diringkaskan dari Wikipedia/Jafar Sidik

http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid

TINGKATAN DAN MAQAM ZIKIR





JANGAN MENINGGALKAN ZIKIR LANTARAN ENGKAU BELUM SELALU INGAT KEPADA ALLAH S.W.T KETIKA BERZIKIR, SEBAB KELALAIAN KAMU TERHADAP ALLAH S.W.T KETIKA TIDAK BERZIKIR LEBIH BAHAYA DARIPADA KELALAIAN KAMU TERHADAP ALLAH S.W.T KETIKA KAMU BERZIKIR.

SEMOGA ALLAH S.W.T MENAIKKAN DARJAT KAMU DARIPADA ZIKIR DENGAN KELALAIAN KEPADA ZIKIR YANG DISERTAI INGAT KEPADA ALLAH S.W.T, DAN MUDAH-MUDAHAN ALLAH S.W.T AKAN MENGANGKAT KAMU DARIPADA ZIKIR YANG BESERTA KEHADIRAN ALLAH S.W.T DI DALAM HATI KAMU KEPADA ZIKIR DI MANA LENYAPNYA SEGALA SESUATU SELAIN ALLAH S.W.T. HAL YANG DEMIKIAN ITU TIDAKLAH SUKAR BAGI ALLAH S.W.T.

Empat keadaan yang berkaitan dengan zikir:

1: Tidak berzikir langsung.
2: Berzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Allah s.w.t.
3: Berzikir dengan disertai rasa kehadiran Allah s.w.t di dalam hati.
4: Berzikir dalam keadaan fana dari makhluk, lenyap segala sesuatu dari hati, hanya Allah s.w.t sahaja yang ada.

Bukanlah sukar bagi Allah s.w.t untuk mengubah suasana hati hamba-Nya yang berzikir dari suasana yang kurang baik kepada yang lebih baik hingga mencapai yang terbaik.

Kerohanian manusia berada dalam beberapa darjat, maka suasana zikir juga berbeza-beza, mengikut darjat rohaninya. Darjat yang paling rendah adalah si raghib yang telah tenat dikuasai oleh syaitan dan dunia. Cahaya api syaitan dan fatamorgana dunia menutup hatinya sehingga dia tidak sedikit pun mengingati Allah s.w.t. Seruan, peringatan dan ayat-ayat Allah s.w.t tidak melekat pada hatinya. Inilah golongan Islam yang dijajah oleh sifat munafik. Golongan ini tidak berzikir langsung.

Golongan kedua berzikir dengan lidah tetapi hati tidak ikut berzikir. Lidah menyebut nama Allah s.w.t, tetapi ingatan tertuju kepada harta, pekerjaan, perempuan, hiburan dan lain-lain. Inilah golongan orang Islam yang awam. Mereka dinasihatkan supaya jangan meninggalkan zikir kerana dengan meninggalkan zikir mereka akan lebih dihanyutkan oleh kelalaian.. Tanpa zikir, syaitan akan lebih mudah memancarkan gambar-gambar tipuan kepada cermin hatinya dan dunia akan lebih kuat menutupinya. Zikir pada peringkat ini berperanan sebagai ‘juru ingat’. Sebutan lidah menjadi teman yang mengingatkan hati yang lalai. Lidah dan hati berperanan seperti dua orang yang mempunyai minat yang berbeza. Seorang enggan mendengar sebutan nama Allah s.w.t, sementara yang seorang lagi memaksanya mendengar dia menyebut nama Allah s.w.t. Sahabat yang berzikir (lidah) mestilah memaksa bersungguh-sungguh agar temannya (hati) mendengar ucapannya. Di sini terjadilah peperangan di antara tenaga zikir dengan tenaga syaitan yang disokong oleh tenaga dunia yang cuba menghalang tenaga zikir dari memasuki hati.

Golongan yang ke tiga pula adalah mereka yang tenaga zikirnya sudah berjaya memecahkan dinding yang dibina oleh syaitan dan dunia. Ucapan zikir sudah boleh masuk ke dalam hati. Tenaga zikir bertindak menyucikan hati daripada karat-karat yang melekat padanya. Pada mulanya ucapan zikir masuk ke dalam hati sebagai sebutan nama-nama Allah s.w.t. Setelah karat hati sudah hilang maka sebutan nama-nama Allah s.w.t akan disertai oleh rasa mesra yang mengandungi kelazatan. Pada peringkat ini zikir tidak lagi dibuat secara paksa. Hati akan berzikir tanpa menggunakan lidah. Sebutan nama-nama Allah s.w.t menghalakan hati kepada Empunya nama-nama, merasai sifat-sifat-Nya sebagaimana dinamakan.

Golongan ke empat ialah mereka yang telah sepenuhnya dikuasai oleh Haq atau hal ketuhanan. Mereka sudah keluar dari sempadan alam maujud dan masuk ke dalam hal yang tidak ada alam, yang ada hanya Allah s.w.t. Tubuh kasar mereka masih berada di atas muka bumi, bersama-sama makhluk yang lain. Tetapi, kesedarannya terhadap dirinya dan makhluk sekaliannya sudah tidak ada, maka kewujudan sekalian yang maujud tidak sedikit pun mempengaruhi hatinya. Mereka karam dalam zikir dan yang dizikirkan. Mereka yang berada pada tahap ini telah terlepas dari ikatan manusiawi dan seterusnya mencapai penglihatan hakiki mata hati.

Mereka yang mempunyai penglihatan hakiki mata hati ada dua jenis. Jenis pertama adalah yang mempunyai nama dan tabir penutup. Hijab nama (asma’) tidak terangkat lalu dia melihat di dalam hijab. Dia melihat Allah s.w.t pada apa yang menghijabkannya. Zikirnya ialah nama yang padanya dia melihat Allah s.w.t. Jenis kedua pula ialah yang berpisah dengan nama dan hijab, lalu dia melihat Allah s.w.t dan merasakan ketenangan dengan penglihatan itu. Pada ketika itu tidak sepatah pun ucapan yang terucap olehnya dan tidak sepatah pun kalam yang terdengar padanya. Dia melihat nama itu tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun selain-Nya. Bila nama dinafikan tibalah pada wusul (sampai). Bila tidak terlintas lagi nama tibalah pada ittisal (perhubungan). Nama yang tidak lagi terlintas disebabkan kuatnya tarikan dari yang dinamai. Makam ini dinamakan makam al-Buhut (kehairan-hairanan), kerana dia melihat Allah s.w.t dalam kehairan-hairanan, tiada ucapan kecuali pandangan. Inilah makam terakhir di mana semua hati terhenti di situ. Ia adalah tingkatan tertinggi tentang kecintaan terhadap zat Ilahiat.

Pada tahap ini Nur-Nya memancar, menyinar, menjulang naik ke lubuk hati. Peringkat ini sudah tiada zikir dan tiada pula yang berzikir, hanyalah memandang bukan berzikir dan tiada berbalik kembali pandangannya. Inilah hal yang dikatakan faham dengan tiada huraian pemahamannya dan mencapai dengan tiada sesuatu pencapaiannya. Insan di dalam hal ini sudah tidak lagi memohon fatwa, tidak memohon perkenan, tidak meminta pertolongan dan ucapan juga tiada. Baginya setiap sesuatu adalah ilmu dan setiap ilmu adalah zikir. Inilah hamba yang telah benar-benar berjaya menghimpun semua makam dan martabat. Dia sudah melihat takdir-takdir dan melihat bagaimana Allah s.w.t menghalau takdir demi takdir dan melihat bagaimana Allah s.w.t mengulangi takdir-takdir itu dengan berbagai-bagai cara yang dikehendaki-Nya kerana sesungguhnya Allah s.w.t sahaja yang memulakan penciptaan dan Dia juga yang mengulanginya. Penglihatannya tidak berbolak-balik lagi. Dia melihat Allah s.w.t di hadapan dan di belakang apa yang dilihatnya dan melihat Allah s.w.t dalam segala yang dilihatnya.

Apabila kerinduan terhadap Allah s.w.t telah menguasai hati seseorang hingga kepada tahap tiada ucapan yang boleh diucapkan maka keadaan itu dikatakan melihat Allah s.w.t yang tiada sesuatu yang menyamai-Nya, sebagaimana firman-Nya:

Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan pentadbiran)-Nya, dan Dia jualah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ( Ayat 11 : Surah asy-Syura )

Dipetik dari Syarah Al-Hikam

Biografi WALI SONGO




“Walisongo” berarti sembilan orang wali”

Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir. Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu :
  • Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim - Gapura Wetan, Gresik
  • Sunan Ampel atau Raden Rahmat - Ampeldenta, Surabaya
  • Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim - Tuban
  • Sunan Drajat atau Raden Qasim - Paciran
  • Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq -Kudus
  • Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin - Giri, Gresik
  • Sunan Kalijaga atau Raden Said - Kadilangu, Demak
  • Sunan Muria atau Raden Umar Said - Kolo, Gunung Muria
  • Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah - Gunung Sembung, Cirebon

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah anak saudara kepada Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.



Click untuk Full Size Image


Walisongo menurut periode waktu

Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, majlis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Wali Songo tidak hidup dalam suatu masa. Namun demikian, diantara kesembilan wali ini, mereka semua mempunyai sebuah bentuk ikatan yang amat erat, jika tiada hubungan darah diantara mereka, pasti ada hubungan diantara Guru dan Murid.. Bila ada seorang anggota majlis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:

  • Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra'il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
  • Angkatan ke-2 (1435 - 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana 'Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
  • Angkatan ke-3 (1463 - 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
  • Angkatan ke-4 (1466 - 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
  • Angkatan ke-5 (1513 - 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
  • Angkatan ke-6 (1533 - 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
  • Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
  • Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).

MASJID DEMAK : Tempat berkumpul Para WALI


RUJUKAN :

* Babad Tanah Jawi
* Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
* Al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran
* 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi
* Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur
* Menyingkap Misteri Pulau Besar oleh Ana Faqir

SISLSILAH WALISONGO


Kandungan Filosofis Pakem Pedalangan Lampahan Makutharama

Monday, 14 February 2011 04:52 Wayang-Indonesia


Karya : Ki Siswaharsodjo
Oleh : Anung Tedjowirawan
Fakultas Sastra UGM
Yogyakarta 1998

A. PENGANTAR

Di dalam seni pertunjukan Wayang Kulit ( Purwa ) terdapat lakon-lakon yang bertemakan wahyu, misalnya : Wahyu Makutharama, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Kastuba Urip, Wahyu Tohjali Abadi, Wahyu Sih Nugraha, dan Wahyu Purbasejati.

Poerwadarminta mengartikan kata wahyu adalah 'wedaring Allah mungguhing prakara gaib' atau pulung nugrahaning Allah. "Ketiban Wahyu" berarti 'oleh pulung nugrahaning Allah ( bakal dadi luhur lan sapanunggalane )' ( Poerwadarminta, 1939 : 652 ). Jadi wahyu adalah penerangan dari Allah mengenai segala macam yang berhubungan dengan kegaiban atau pulung sebagai karunia dari Allah. Kejatuhan wahyu berarti mendapat pulung sebagai karunia dari Allah.

Wahyu sering juga disebut sebagai kemuliaan Illahi, keuntungan dan kejayaan. Daya kekuatan wahyu sering dilambangkan dengan warna putih kekuning-kuningan. Warna itu wataknya "rila legawa" ( Arman Subana, 1996 : 95 ). Pulung dapat menimbulkan watak "welas asih" 'belas kasih' bagi yang menerimanya sehingga ia diliputi oleh suasana yang lebih baik, memiliki sifat suka membantu orang lain, tetapi sebaliknya ia pun dikasihi oleh orang lain.

Di dalam lakon-lakon pertunjukan wayang yang bertemakan wahyu di atas terdapat beberapa perbedaan baik dalam pengertian maupun bentuk dari wahyu-wahyu di atas. Di dalam lakon wahyu Makutharama, wahyu adalah anugerah berupa ajaran/petunjuk atau wejangan, tentang ilmu Sri Bathara Ramawijaya yang dijadikan pedoman, pegangan dalam memerintah negara ( Pancawatidhendha ) yang disebutnya sebagai Asthabrata, yaitu delapan laku atau delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta, yaitu: kisma ( tanah/bumi ), tirta ( air ), samarana ( angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra
( bulan ), baskara ( matahari ), dahana (api), dan kartika ( bintang ) atau disebut juga gunung. Wahyu Makutharama tersebut disampaikan oleh Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ) kepada Arjuna.

Dalam lakon Wahyu Cakraningrat, wahyu digambarkan sebagai makluk surgawi, dapat bercakap-cakap, dan berjenis pria, adapun pasangannya adalah Wahyu Anggani. Pada akhirnya Wahyu Cakraningrat masuk ke dalam diri Abimanyu
( Angkawijaya ) sedangkan kelak Wahyu Anggani masuk ke dalam diri Utari. Tokoh yang menerima Wahyu tersebut kelak akan menurunkan raja. Hal ini terbukti bahwa anak Abimanyu, yakni Pariksit ( Parikesit ) kelak dinobatkan sebagai raja di Hastina menggantikan Yudhistira, yang bersama-sama dengan saudara-saudaranya kemudian mempersiapkan diri untuk kembali ke sorga.

Dalam lakon Wahyu Kastuba Urip, wahyu digambarkan berupa pusaka dan senjata milik para pandawa yang kemudian kembali lagi kepada pemiliknya. Adapun pusaka dan para Pandawa yang semula hilang tersebut antara lain adalah Jamus Kalimasada, Gada Rujakpolo, dan Keris Pulanggeni. Adapun yang menerima wahyu tersebut adalah Abimanyu
( Jayalengkara ) setelah ia memanah pohon hidup ( Sigit Widodo, 1988 : 94 ).

Dalam lakon Wahyu Tohjali Abadi, wahyu dilukiskan berupa petunjuk yang diberikan oleh Dewa Ruci ( yang bersemayam di dalam kuncung Semar ) kepada Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Isi petunjuk tersebut adalah bahwa yang ketempatan wahyu sehingga menurunkan darah raja adalah Arjuna. Adapun yang menurunkan Wahyu Tohjali Abadi adalah Ismaya ( Semar ) ( Sigit Widodo, 1988: 97-98 ).

Dalam lakon Wahyu Sih Nugraha, wahyu dilakukan sebagai wejangan Jiwandana kepada Sadewa tentang ilmu kesempurnaan hidup. Jiwandana adalah wahana Wahyu Sih Nugraha. Setelah memberi wejangan ' petunjuk ' Jiwandana kemudian berubah menjadi sinar cemerlang dan masuk bersatu dengan Sadewa ( Sigit Widodo, 1988 : 96-97 ).

Dalam lakon Wahyu Purbasejati, wahyu digambarkan berupa penjelmaan Ramawijaya dan Laksmanawidagda ke dunia ke dalam diri Kresna dan Arjuna. Ramawijaya bersifat purba sedangkan Laksmanawidagda bersifat sejati. Oleh sebab itu turun dan menjelmanya Ramawijaya dan Laksmanawidagda disebutnya Wahyu Purbasejati. Di dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu memiliki lima macam tugas, yaitu:

1. Purba, berada dalam diri Sri Ramawijaya,
2. Wasesa, berada dalam diri Sri Kresna,
3. Sejati, berada dalam diri Laksmanawidagda,
4. Lowih, berada dalam diri Arjuna,
5. Murti, berada dalam diri Wibisana.

Dengan menjelma ke dalam diri Kresna maka sifat Wisnu sebagai purba ( Sri Ramawijaya ) bersatu dengan wasesa ( Sri Kresna ). Dengan demikian Kresna memiliki dua sifat Wisnu, yakni Purba dan wasesa. Adapun Arjuna memiliki dua sifat Wisnu, yakni sejati ( Laksmanawidagda ) dan lowih ( Arjuna ). Kresna adalah Tuhan yang turun ke dunia sebagai Pelindung Dunia sedangkan Arjuna adalah Wisnu yang turun ke dunia sebagi manusia sejati dan sakti atau sebagai Manusia Agung ( Arman Subana, 1996: 96-100 ). Dengan berkumpulnya Kresna dan Arjuna maka diibaratkan seperti madu 'madu' dan manise 'manisnya', seperti geni 'api' dan urube 'nyalanya'. Madunya Kresna manisnya Arjuna, apinya Kesawa ( Wisnu/Kresna ) nyalanya Janaka ( Arjuna ). Keduanya bersama-sama melaksanakan kewajiban sebagai pelindung dunia.

Di dalam pentas pertunjukan wayang beberapa dalang yang telah mementaskan lakon Wahyu Makutharama dan direkan dalam bentuk pita kaset, antara lain adalah Ki Anom Soeroto dan Ki Timbul Hadiprayitna. Adapun dalam pembahasan cerita Wahyu Makutharama dalam seminar kali ini, Sumber yang dipakai adalah Pakem Pedhalangan Lampahan Makutharama karya Ki Siswoharsojo, cetakan VI, Toko Buku " S. G " Ngayogyakarta tahun 1979.

B. SINOPSIS

Di kerajaan Ngastina, Prabu Duryudana dihadap Pendita Durna, patih Arya Sangkuni dan segenap pembesar kerajaan Ngastina. Prabu Duryudana menyampaikan ilham dewa bahwa Hyang Jagadpratingkah menurunkan Wahyu Makutharama di gunung Kutharunggu. Berhubung Prabu Duryudana tidak mau bertapa untuk mendapatkan wahyu tersebut maka disuruhnya Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni untuk mewakilinya pergi ke gunung Kutharunggu mencari wahyu tersebut.

Di pertapaan Kutharunggu, Begawan Kesawasidhi diharap oleh Begawan Anoman ( Resi Mayangkara ), Begawan Maesaka, Yaksendra Jajagwreka, dan Gajah Setubanda. Prabu Karna dan patih Arya Sangkuni datang menghadap Begawan Kesawasidhi dan mengungkapkan bahwa kedatangannya adalah mengemban perintah raja ( Prabu Duryudana ) untuk mencari Wahyu Makutharama. Begawan Kesawasidhi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wahyu adalah tidak berbentuk dan tidak berwarna, tidak berarah, tidak pula bertempat tetapi hanyalah merupakan anugrah dari Hyang Widhi kepada manusia yang diterima karena tapa bratanya. Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni menduga bahwa Begawan Kesawasidhi mengetahui keberadaan wahyu Makutharama karena pengetahuannya yang meluas dan mendalam mengenai wahyu. Begawan Kesawasidhi akan diboyong ke Ngastina agar Wahyu Makutharama yang ada dalam dirinya dapat diberikan kepada Prabu Duryudana. Begawan Kesawasidhi menolak tawaran baik Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni menduga bahwa Begawan Kesawasidhi mengetahui keberadaan Wahyu Makutharama karena pengetahuannya yang luas dan mendalam mengenai wahyu. Begawan Kesawasidhi akan diboyong ke Ngastina agar Wahyu Makutharama yang ada dalam dirinya dapat diberikan kepada Prabu Duryudana. Begawan Kesawasidhi menolak tawaran baik Prabu Karna dan Patih Arya sangkuni sehingga menimbulkan peperangan. Dalam pertempurannya melawan Begawan Kesawasidhi, Prabu Karna terdesak sehingga ia melepaskan senjata andalannya, yaitu Kunta Wijayadanu tetapi sewaktu panah tersebut terlepas, Begawan Anoman segera menyahutnya. Prabu Karna merasa malu dan tidak berdaya sehingga ia meninggalkan medan pertempuran memisahkan diri dengan pasukan Kurawa yang kemudian juga mengundurkan diri.

Di tengah hutan, Arjuna bersama para punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk bermaksud menuju Gunung Kutharunggu. Ia mendapat isyarat dari eyangnya, yaitu Begawan Abiyasa ( Wiyasa ) raja padeta dari Saptaarga, bahwa kepergian kakaknya, yaitu Prabu Kresna ( Sri Batara Kresna ) bersamaan waktunya dengan diturunnya Wahyu Makutharama di gunung Kutharunggu.

Di pertapaan Deksana, Begawan Wibisana dihadap Patih Padyawastana atau Patih Reksabangsa. Begawan Wibisana menyuruh Patih Padyawastana untuk menyampaikan surat kepada putranya yaitu Prabu Wibisana. Adapun Begawan Wibisana bermaksud untuk pergi mencari penjelmaan junjungannya sekaligus gurunya yaitu Sri Bathara Ramawijaya. Sepeninggal Patih Padyawastana maka Begawan Wibisana mengheningkan Cipta dan memperoleh hadiah dewa dengan mengetahui keberadaan Sang Hyang Kesawa. Akan tetapi dalam melakukan samadi tersebut keempat nafsu
( catur driya ) dalam dirinya terlepas dan menyatakan ketidakpuasannya atas perlakuan sepihak Begawan Wibisana. Adapun keempat perwujudan nafsu Begawan Wibisana, yaitu : Nuraga, Angkasa, Lodra, dan Sukarda tersebut kemudian disarankan pergi ke gunung Kutharunggu agar berjumpa dengan satria utama yang akan mengantar dan menyempurnakan mereka kembali ke alam baka. Adapun Begawan Wibisana sendiri ingin mencari penjelmaan gurunya, yaitu Sri Bathara Ramawijaya yang akan membantunya mengantarkannya kembali ke sorga.

Sesampainya di hutan Suwelagiri, Arjuna dan Punakawan dihadang oleh Nuraga, Angkara Lodra, dan Sukarda. Keempat perwujutan nafsu Begawan Wibisana tersebut memaksa Arjuna untuk membunuhnya agar mereka kembali ke alam asalnya, tetapi Arjuna menolak permintaan mereka, sehingga menimbulkan pertempuran. Dengan bantuan Semar, Arjuna dapat menyempurnakan keempat perwujutan nafsu tersebut kembali ke alam baka.

Di Pertapaan Kutharanggu, Begawan Kesawasidhi dihadap oleh Begawan Anoman, Begawan Maenaka, Yaksendra Jajagwreka, dan Gajah Setubanda. Begawan Anoman menyerahkan senjata Kunta Wijayadanu yang dirampasnya dari pemiliknya yaitu Prabu Karna. Akan tetapi Begawan Anoman justru dipersalahkan oleh Begawan Kesawasidhi, karena dengan demikian ia melakukan empat macam dosa. Begawan Anoman sangat menyesali perbuatannya itu dan disarankan oleh Begawan Kesawasidhi agar Begawan Anoman melanjutkan tapa bratanya ke gunung kendhalisada bersama saudara-saudaranya untuk menebus dosa sekaligus memohon petunjuk Hyang Maha Wasesa. Sepeninggal Begawan Anoman bersaudara, Begawan Wibisana datang ke Kutharunggu. Maksudnya akan menguji keyakinannya bahwa Begawan Kesawasidhi adalah penjelmaan Sri Bathara Ramawijaya. Oleh sebab itu Begawan Wibisana mengusir Begawan Kesawisidhi dari pertapaannya di Kutharunggu dengan dalih belum meminta ijin kepada dirinya, sebagai penguasa di daerah Kutharunggu. Pertempuran tak terhindarkan, Begawan Wibisana dapat ditundukkan setelah Begawan Kesawasidhi adalah penjelmaan junjungannya sekaligus gurunya, yaitu Sri Bathara Ramawijaya. Begawan Kesawasidhi kemudian membantu Begawan Wibisana kembali ke sorga dengan cara membakarnya. Akan tetapi perjalanan suksma Begawan Wibisana tergoda oleh ratapan dan rintihan Arya Kumbakarna, kakaknya, yang keadaannya di alam Lokantara sangat menyedihkan. Begawan Wibisana bermaksud membantu saudaranya itu tetapi ia justru kehilangan arah, jalan yang ditempuhnya menjadi gelap gulita. Pada saat itulah Begawan Kesawasidhi datang dan mengingatkan kesalahan sukma Begawan Wibisana. Dengan bantuan gurunya, maka akhirnya Begawan Wibisana dapat melanjutkan perjalanannya kembali menuju surga. Adapun suksma Arya Kumbakarna disarankan membuat dharma dengan jalan menyatu kepada seorang satria yang berbudi luhur dan utama. Suksma Arya Kumbakarna disuruh pergi ke gunung Suwelagiri.

Di kerajaan Ngamarta ( Batanakawarsa ), Prabu Yudhisthira ( Darmakusuma ) dihadap oleh ketiga adiknya, yaitu : Arya Sena ( Wrekudara ), Nakula, dan Sadewa serta Prabu Gathutkaca. Prabu Yudhisthira kemudian memerintahkan Arya Sena dan Prabu Gathutkaca untuk mencari Prabu Kresna dan Arjuna.

Di ksatrian Madukara, Dewi Wara Subadra dihadap Dewi Wara Srikandhi, Dewi Larasati, dan Dewi Sulastri. Mereka memperbincangkan kepergian suami mereka, yaitu Arjuna yang tengah mencari Prabu Kresna. Dewi Subadra bermaksud menyusul Arjuna, Dewi Wara Srikandhi bersikeras menyertainya. Resi Kanekaputra ( Narada ) turun menemui mereka dan memberitahukan bahwa kepergian Arjuna adalah untuk mencari Wahyu Makutharama. Resi Kanekaputra kemudian membantu Dewi Wara Subadra dengan mengubahnya menjadi laki-laki dan diberinya nama Bambang Sintawaka sedangkan Dewi Wara Srikandhi diubahnya pula menjadi laki-laki dan diberinya nama Bambang Kandhihawa. Mereka kemudian dilemparkan Resi Kanekaputra dan jatuh di tengah hutan wilayah Suwelagiri.

Di tengah hutan tersebut Bambang Sintawaka sesumbar menantang para raksasa. Prabu Gathotkaca yang mendengar dari udara menjadi panas hatinya sehingga turun menemui Bambang Sintawaka dan Bambang Kandhihawa. Pertengkaran tak dapat dihindarkan tetapi dengan mudah Prabu Gathotkaca dikalahkan dan dianggapnya sebagai anak mereka serta disuruhnya untuk menyertai perjalanannya.

Di tengah hutan, sukma Arya Kumbakarna menanti datangnya satria utama, sebagaimana perintah Begawan Kesawasidhi. Tidak lama kemudian Arya Sena ( Wrekudara ) lewat. Arya Kumbakarna mendekap kakinya dan meminta ijin untuk menyatu dengan Arya Wrekudara, tetapi permintaan itu ditolaknya sehingga terjadilah pertempuran. Pada waktu Arya Wrekudara lengah maka sukma Arya Kumbakarna merasuk ke dalam betis kirinya.

Di padepokan Kutharunggu, Begawan Kesawasidhi menerima kedatangan Arjuna bersama para punakawan. Setelah Arjuna dipandangnya pantas menerima wahyu, maka Begawan Kesawasidhi kemudian memberinya wejangan tentang makna Wahyu Makutharama, yang intinya adalah Asthabrata, yang diambilnya dari delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta, yaitu: kisma ( tanah ), tirta ( air ), samirana ( angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra ( bulan ), baskara ( matahari ), dahana ( api ), dan kartika ( bintang ) atau disebut juga gunung. Arjuna kemudian disuruh untuk mencari dan menyerahkan senjata kunta Wijayadanu yang dirampas Begawan Anoman kepada Prabu Karna.

Arjuna menemukan Prabu Karna di tengah hutan, senjata Kunta Wijayadanu diserahkan. Akan tetapi Prabu Karna bermaksud meminta Wahyu Makutharama dari Arjuna. Arjuna menjelaskan bahwa Wahyu Makutharama tidak berujud dan tidak berwarna. Prabu Karna memaksakan kehendaknya sehingga terjadilah pertempuran tetapi dapat dikalahkan oleh Arjuna. Sepeninggalnya Prabu Karna, Arya Sena ( Wrekudara ) datang. Arya Wrekudara mengatakan bahwa kedatangannya bersama Arjuna adalah untuk mencari Prabu Kresna, kakaknya.

Bambang Sintawaka, Bambang Kandhihawa, dan prabu Gathotkaca ke pertapaan Kutharunggu. Bambang Sintawaka bermaksud meminta Arjuna, yang dianggap sebagai buruannya tetapi Begawan Kesawasidhi melindunginya sehingga pertempuran tak terhindarkan. Begawan Kesawasidhi bertempur melawan Bambang Sintawaka. Begawan Kesawasidhi akhirnya menjelma ( badar ) menjadi Prabu Kresna dan Bambang Sintawaka menjadi Dewi Wara Subadra. Dengan petunjuk Prabu Kresna Arjuna dapat memaksa Bambang Kandhihawa untuk menjelma kembali menjadi Dewi Wara Srikandi. Arya Wrekudara dan Prabu Gathotkaca pun akhirnya juga menghentikan pertempurannya. Prabu Kresna menjelaskan bahwa kepergiannya dari Dwarawati adalah untuk mengemban perintah Hyang Widi untuk menurunkan Wahyu Makutharama, yang akhirnya diperoleh oleh Arjuna. Kepada Wrekudara, Prabu Kresna menjelaskan bahwa Wrekudara mendapatkan tambahan kekuatan dari Arya Kumbakarna. Prabu Kresna kemudian mengajak saudara-saudaranya untuk kembali ke Ngamarta.

Di Ngastina, Prabu Duryudana menanti kedatangan Prabu Karna. Patih Arya Sangkuni kemudian datang dan melaporkan kegagalannya mencari wahyu. Prabu Karna kemudian datang dan melaporkan bahwa Arjuna telah mendapatkan Wahyu Makutharama. Prabu Duryudana kemudian memerintahkan Patih Arya Sangkuni untuk menyiapkan pasukannya menyerang Ngamarta.

Di kerajaan Ngamarta, prabu Yudhistira, Nakula, dan Sadewa menerima kedatangan Prabu Kresna, Arya Wrekudara, Arjuna, dan Gathotkaca. Prabu Kresna menerangkan bahwa kepergiannya dari kerajaan Dwarawati adalah mengemban parintah Hyang Wisesa untuk menurunkan Wahyu Makutharama. Pada saat itulah Patih Andaka Semeru datang menghadap untuk melaporkan bahwa Prabu Duryudana bersama pasukan Kurawa menyerang. Prabu Kresna memerintahkan Arya Wrekudara, Arjuna, dan Gathotkaca untuk menghadapi serangan tersebut. Arya Wrekudara bertempur melawan Prabu Duryudana, Arjuna bertempur melawan Prabu Karna,sedangkan Prabu Gathotkaca mengamuk menyerang pasukan Korawa. Prabu Kresna kemudian menciptakan angin menempuh pasukan Korawa hingga keluar dari Ngamarta. Prabu Kresna bersaudar kemudian menghadap Prabu Yudhistira untuk berpesta merayakan keberhasilan mereka.

c. KANDUNGAN FILOSOFIS PAKEM PEDHALANGAN LAMPAHAN MAKUTHARAMA

1. Seorang raja atau pemimpin perlu memiliki pegangan, pedoman, yang dapat dijadikan landasan bagi tata pemerintahannya, agar berbagai kebijakan yang diambil, ditetapkan atau diputuskan dapat adil, arif dan bijaksana, tidak menyimpang dari dharma,

2. Apabila seorang raja ( pemimpin ) ingin melangsungkan kedudukan atau kekuasaannya sampai pada anak keturunannya, maka ia perlu memiliki wahyu ( anugerah Illahi ), yang dapat memberinya tambahan kekuatan serta kewibawaan di dalam menyelenggarakan tata pemerintahannya.

3. Adapun untuk memperoleh wahyu, seorang raja ( pemimpin ) atau pun siapa saja harus memintanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ( dewa ), dengan berlandaskan pada: hati yang bersih, kerendahan hati ( tidak sombong dan membanggakan kedudukan ), memiliki tekad dan kemauan yang keras, mau berprihatin ( bertapa-brata ), serta mau meninggalkan untuk sementara hal-hal yang bersifat keduniawian. Di dalam mencari wahyu, perlu dilakukan sendiri, tidak diwakilkan kepada orang lain ( seperti Prabu Duryudana untuk memperolah Wahyu Makutharama ) mewakilkan kepada Prabu Karna sehingga gagal ). hal ini penting sebab wahyu tidak memilih untuk bertempat ( berdiam ) kepada seseorang yang memiliki pangkat, kedudukan/jabatan, atau pun kekayaan.

4. Di dalam mencari wahyu, seorang raja ( pemimpin ) perlu membersihkan hati dan mencucikan jiwanya dengan menanggalkan serta meninggalkan berbagai nafsu yang melekat di dalam jiwanay, misalnya :

a. Nafsu atau keinginan untuk makan yang enak, bersetubuh, yang dapat membuatnya panjang umur dan badan sentausa, yang lambangnya pada diri Lodra.

b. Nafsu atau keinginan untuk berpakaian atau memperindah diri ( bersolek ), mencintai keindahan, suka dan gembira, yang dilambangkan pada diri Sukarda.

c. Nafsu atau keinginan untuk berolah kanuragan dan kesaktian, pemberani, tatag tangguh, yang dilambangkan pada diri angkara.

d. Nafsu atau keinginan untuk memiliki perasan belas kasihan, sedih dan sengsara, berhati suci, hemat yang dilambangkan pada diri Nuraga.

Dengan menanggalkan dan meninggalkan ke empat macam nafsu, yang dapat dijajarkan dengan Luamah, Amarah, Supiah, dan Mutmainah, seseorang akan berpeluang untuk mendapatkan penerangan Illahi ( wahyu ). Hal ini dapat dilihat pada diri Begawan Wibisana, setelah ia mengeluarkan, menanggalkan ke empat nafsunya itu, maka ia mendapatkan penerangan Illahi ( dewa ) sehingga ia dapat mencari penjelmaan Sri Bathara Ramawijaya, yang berdiam dan menyatu dalam diri Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ). Demikian pula halnya Arjuna, setelah berhasil mengatasi gangguan ke empat perwujutan nafsu Begawan Wibisama, yaitu : Lodra, Sukarda, Angkara, dan Nuraga ) maka ia pun akhirnya berhasil mencari gunung Khuntarunggu dan mendapatkan wejangan dan uraian tentang makna Wahyu Makutharama dari Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ).

5. Wahyu Makutharama adalah ilmu pegangan dan pedoman bagi Sri Bathara Ramawijaya dalam menyelenggarakan tata pemerintahan di kerajaan Pancawati ( Pancawatidhendha ). Pada dasarnya Wahyu Makutharama berintikan Asthabrata ( Hastabrata ), yaitu : delapan laku ( watak ) dewa atau delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta, yang harus dipakai oleh seorang raja ( pemimpin ). Adapun sifat ke delapan anasir ( unsur ) alam semesta dan penerapannya itu dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kisma ( tanah/ bumi ):
bersifat selalu memperlihatkan kemurahan dengan memberi dana. Segala tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan segala yang hidup, tidak lain karena disebabkan oleh buah yang dihasilkan dari tanah. Meskipun tanah dianiaya oleh manusia dengan cara dicangkuli, digali, tetapi justru tanah memperlihatkan kemurahannya. Beraneka macam harta benda, misalkan emas, permata, diberikan kepada manusia yang menganiaya tanah.
Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) hendaklah memiliki sifat tanah, yaitu : selalu bermurah hati kepada siapapun yang meminta belas kasihan raja. Bahkan andaikata hati raja ( pemimpin ) disakiti hendaknya dibalasnya dengan dharma.

b. Tirta ( air ):
bersifat rendah hati, tidak mau unggul-mengungguli, tidak merendahkan sebab air itu bersifat merata dan mengalir ke tempat yang rendah, tetapi air memiliki faedah yang besar, yaitu mendinginkan dan menyembuhkan orang yang sakti. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) hendaknya memiliki sifat air, tidak merendahkan kemampuan dan kepandaian orang lain, serta harus selalu mau turun ke bawah untuk melihat sendiri keadaan rakyatnya.

c. Samirana ( angin ): bersifat rajin dan teliti, serta dapat menyusup ke segala tempat. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus selalu meneliti di mana pun ia berada. Di dalam meneliti harus secara seksama sehingga rakyatnya dapat diketahui, baik yang kotor atau pun yang sakti.

d. Samodra ( samudra/lautan ) : bersifat luas tanpa batas. Segala benda dan air sungai yang tak terkira, yang mengalir ke dalamnya, tak membuat samudra ( lautan ) penuh dan meluap. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus berhati luas dan sabar. Raja ( pemimpin ) harus dapat menampung ( momot ) aspirasi rakyatnya, baik dalam keadaan suka ataupun duka, kesemuanya itu dihadapinya dengan raup wajah yang cerah, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila raja ( pemimpin ) merasa sakit hati karena rakyatnya maka ia segera dapat meredamnya.

e. Candra ( bulan ) : bersifat menerangi dan memberikan kesejukan ke seluruh dunia. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus selalu mempelajari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kepandaiannya. Ilmu pengetahuan dan kepandaian yang diperoleh raja ( pemimpin ) itu hendaknya kemudian diajarkan sebagai penerang bagi rakyatnya, dengan tidak memandang apakah rakyatnya itu tinggal di dalam kota, di desa, atau bahkan di lereng gunung, tanpa memandang apakah rakyatnya itu berpangkat atau tidak. pendek kata semuanya diberi pelajaran.

f. Baskara ( matahari ): bersifat selalu memberi daya kekuatan kepada semua yang tergelas ( terbentang ) di dunia. Samudra/lautan dapat menguap menjadi awan, sampai akhirnya menjadikan hujan, semua itu tidak lain karena daya kekuatan matahari. Bumi berkembang untuk menumbukan berbagai tumbuh-tumbuhan, hal itu pun tidak lain karena daya sinar matahari. Dalam menyinari samudra/lautan maupun tanah ( bumi ), matahari melakukannya dengan sabar, perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, seperti halnya perjalanan matahari dari ufuk timur ke ufuk barat. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat seperti matahari, ia harus selalu memberikan daya kekuatannya kepada rakyatnya. Para nahkoda, petani, dan para pekerja yang kekurangan semuanya harus mendapat limpahan kasih raja sebagai modal kerja bagi mereka. Meskipun di kelak kemudian hari mereka harus mengembalikan modal kerja tersebut, tetapi raja ( pemimpin ) harus dapat bersabar hati ( tidak tergesa-gesa menarik modal kerja tersebut ), melainkan menanti setelah mereka memperoleh hasil dari usahanya.

g. Dahana ( api ) : bersifat menyelesaikan. Tidak ada satu pun yang tidak hancur oleh api. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat api. Dalam menerapkan pengadilan bagi rakyatnya harus dapat bertindak adil. Segala perkara yang diserahkan kepada raja ( pemimpin ) harus selesai, sempurna dengan adil bijaksana, tidak ada yang diuntungkan atau dirugikan.

h. Kartika ( bintang ) atau pun disebut juga gunung: bersifat teguh tegar ( sentausa ). Meskipun gunung di terjang oleh angin prahara, tetapi bayu bajra tidak dapat menggoyahkan gunung, bahkan membelok arahnya ke kanan atau ke kiri, karena kalah oleh perbawa ( kewibawaan ) dan kekuatan gunung. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat bintang atau pun gunung, sehingga segala hal yang diperintahkan harus tetap dijalankan, tidak boleh berubah.

6. Ajaran Astabrata ( Hastabrata ) dalam Wahyu Makutharama, kiranya tidak hanya diperuntukkan untuk raja atau penguasa ( pemimpin ) agar dijadikan pegangan, pedoman dalam ,mengendalikan tata pemerintahan, tetapi ajaran di dalamnya tersebut dapat diambil oleh manusia biasa untuk meningkatkan kualitas batin dan jiwanya dalam usahanya menyempurnakan diri. Manusia yang mampu mencerna dan meresapi, serta menerapkannya inti astabrata secara sungguh-sungguh, niscaya akan menjadi manusia pendeta yang dalam fikiran, tutur kata, dan perbuatannya dapat bersikap arif bijaksana. Pancaran dari dalam dirinya terasa menyejukkan, meneduhkan, dan menenangkan bagi orang lain di dekatnya, terlebih lagi pada keluarga dan kerabatnya.

7. Sumber ajaran Astabrata mengalami pergeseran, kalau semula yang diambil sebagai sumbernya adalah delapan watak ( laku ) dewa, yaitu : Indra, Bayu, Agni, Surya, Yama, Anila, Kuwera, dan Baruna, tetapi dalam perkembangannya kemudian mengambil delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta ( filsafat alam ), yaitu : kisma ( tanah/bumi ), tirta ( air ), samirana ( angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra ( bulan ), baskara ( matahari ) dahana ( api ), dan kartika ( bintang ) yang juga disebut sifat gunung.

8. Dalam hubungan antara guru dengan muridnya atau raja dengan bawahannya maka guru atau raja harus dapat menjadi pelindung, pengayom, pemberi petunjuk yang benar kepada murid-muridnya atau para bawahannya. Sebaliknya para murid atau pun para bawahan harus percaya sepenuhnya kepada kelebihan-kelebihan gurunya atau rajanya ( tuannya ). penjajagan akan kelebihan-kelebihan guru atau raja, kiranya dapat dilihat dari kerendahan hatinya, tutur katanya atau bobot pembicaraannya,bukan dengan kekerasan dan kekuatan