Sabtu, 12 Mei 2012

Kandungan Filosofis Pakem Pedalangan Lampahan Makutharama

Monday, 14 February 2011 04:52 Wayang-Indonesia


Karya : Ki Siswaharsodjo
Oleh : Anung Tedjowirawan
Fakultas Sastra UGM
Yogyakarta 1998

A. PENGANTAR

Di dalam seni pertunjukan Wayang Kulit ( Purwa ) terdapat lakon-lakon yang bertemakan wahyu, misalnya : Wahyu Makutharama, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Kastuba Urip, Wahyu Tohjali Abadi, Wahyu Sih Nugraha, dan Wahyu Purbasejati.

Poerwadarminta mengartikan kata wahyu adalah 'wedaring Allah mungguhing prakara gaib' atau pulung nugrahaning Allah. "Ketiban Wahyu" berarti 'oleh pulung nugrahaning Allah ( bakal dadi luhur lan sapanunggalane )' ( Poerwadarminta, 1939 : 652 ). Jadi wahyu adalah penerangan dari Allah mengenai segala macam yang berhubungan dengan kegaiban atau pulung sebagai karunia dari Allah. Kejatuhan wahyu berarti mendapat pulung sebagai karunia dari Allah.

Wahyu sering juga disebut sebagai kemuliaan Illahi, keuntungan dan kejayaan. Daya kekuatan wahyu sering dilambangkan dengan warna putih kekuning-kuningan. Warna itu wataknya "rila legawa" ( Arman Subana, 1996 : 95 ). Pulung dapat menimbulkan watak "welas asih" 'belas kasih' bagi yang menerimanya sehingga ia diliputi oleh suasana yang lebih baik, memiliki sifat suka membantu orang lain, tetapi sebaliknya ia pun dikasihi oleh orang lain.

Di dalam lakon-lakon pertunjukan wayang yang bertemakan wahyu di atas terdapat beberapa perbedaan baik dalam pengertian maupun bentuk dari wahyu-wahyu di atas. Di dalam lakon wahyu Makutharama, wahyu adalah anugerah berupa ajaran/petunjuk atau wejangan, tentang ilmu Sri Bathara Ramawijaya yang dijadikan pedoman, pegangan dalam memerintah negara ( Pancawatidhendha ) yang disebutnya sebagai Asthabrata, yaitu delapan laku atau delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta, yaitu: kisma ( tanah/bumi ), tirta ( air ), samarana ( angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra
( bulan ), baskara ( matahari ), dahana (api), dan kartika ( bintang ) atau disebut juga gunung. Wahyu Makutharama tersebut disampaikan oleh Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ) kepada Arjuna.

Dalam lakon Wahyu Cakraningrat, wahyu digambarkan sebagai makluk surgawi, dapat bercakap-cakap, dan berjenis pria, adapun pasangannya adalah Wahyu Anggani. Pada akhirnya Wahyu Cakraningrat masuk ke dalam diri Abimanyu
( Angkawijaya ) sedangkan kelak Wahyu Anggani masuk ke dalam diri Utari. Tokoh yang menerima Wahyu tersebut kelak akan menurunkan raja. Hal ini terbukti bahwa anak Abimanyu, yakni Pariksit ( Parikesit ) kelak dinobatkan sebagai raja di Hastina menggantikan Yudhistira, yang bersama-sama dengan saudara-saudaranya kemudian mempersiapkan diri untuk kembali ke sorga.

Dalam lakon Wahyu Kastuba Urip, wahyu digambarkan berupa pusaka dan senjata milik para pandawa yang kemudian kembali lagi kepada pemiliknya. Adapun pusaka dan para Pandawa yang semula hilang tersebut antara lain adalah Jamus Kalimasada, Gada Rujakpolo, dan Keris Pulanggeni. Adapun yang menerima wahyu tersebut adalah Abimanyu
( Jayalengkara ) setelah ia memanah pohon hidup ( Sigit Widodo, 1988 : 94 ).

Dalam lakon Wahyu Tohjali Abadi, wahyu dilukiskan berupa petunjuk yang diberikan oleh Dewa Ruci ( yang bersemayam di dalam kuncung Semar ) kepada Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Isi petunjuk tersebut adalah bahwa yang ketempatan wahyu sehingga menurunkan darah raja adalah Arjuna. Adapun yang menurunkan Wahyu Tohjali Abadi adalah Ismaya ( Semar ) ( Sigit Widodo, 1988: 97-98 ).

Dalam lakon Wahyu Sih Nugraha, wahyu dilakukan sebagai wejangan Jiwandana kepada Sadewa tentang ilmu kesempurnaan hidup. Jiwandana adalah wahana Wahyu Sih Nugraha. Setelah memberi wejangan ' petunjuk ' Jiwandana kemudian berubah menjadi sinar cemerlang dan masuk bersatu dengan Sadewa ( Sigit Widodo, 1988 : 96-97 ).

Dalam lakon Wahyu Purbasejati, wahyu digambarkan berupa penjelmaan Ramawijaya dan Laksmanawidagda ke dunia ke dalam diri Kresna dan Arjuna. Ramawijaya bersifat purba sedangkan Laksmanawidagda bersifat sejati. Oleh sebab itu turun dan menjelmanya Ramawijaya dan Laksmanawidagda disebutnya Wahyu Purbasejati. Di dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu memiliki lima macam tugas, yaitu:

1. Purba, berada dalam diri Sri Ramawijaya,
2. Wasesa, berada dalam diri Sri Kresna,
3. Sejati, berada dalam diri Laksmanawidagda,
4. Lowih, berada dalam diri Arjuna,
5. Murti, berada dalam diri Wibisana.

Dengan menjelma ke dalam diri Kresna maka sifat Wisnu sebagai purba ( Sri Ramawijaya ) bersatu dengan wasesa ( Sri Kresna ). Dengan demikian Kresna memiliki dua sifat Wisnu, yakni Purba dan wasesa. Adapun Arjuna memiliki dua sifat Wisnu, yakni sejati ( Laksmanawidagda ) dan lowih ( Arjuna ). Kresna adalah Tuhan yang turun ke dunia sebagai Pelindung Dunia sedangkan Arjuna adalah Wisnu yang turun ke dunia sebagi manusia sejati dan sakti atau sebagai Manusia Agung ( Arman Subana, 1996: 96-100 ). Dengan berkumpulnya Kresna dan Arjuna maka diibaratkan seperti madu 'madu' dan manise 'manisnya', seperti geni 'api' dan urube 'nyalanya'. Madunya Kresna manisnya Arjuna, apinya Kesawa ( Wisnu/Kresna ) nyalanya Janaka ( Arjuna ). Keduanya bersama-sama melaksanakan kewajiban sebagai pelindung dunia.

Di dalam pentas pertunjukan wayang beberapa dalang yang telah mementaskan lakon Wahyu Makutharama dan direkan dalam bentuk pita kaset, antara lain adalah Ki Anom Soeroto dan Ki Timbul Hadiprayitna. Adapun dalam pembahasan cerita Wahyu Makutharama dalam seminar kali ini, Sumber yang dipakai adalah Pakem Pedhalangan Lampahan Makutharama karya Ki Siswoharsojo, cetakan VI, Toko Buku " S. G " Ngayogyakarta tahun 1979.

B. SINOPSIS

Di kerajaan Ngastina, Prabu Duryudana dihadap Pendita Durna, patih Arya Sangkuni dan segenap pembesar kerajaan Ngastina. Prabu Duryudana menyampaikan ilham dewa bahwa Hyang Jagadpratingkah menurunkan Wahyu Makutharama di gunung Kutharunggu. Berhubung Prabu Duryudana tidak mau bertapa untuk mendapatkan wahyu tersebut maka disuruhnya Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni untuk mewakilinya pergi ke gunung Kutharunggu mencari wahyu tersebut.

Di pertapaan Kutharunggu, Begawan Kesawasidhi diharap oleh Begawan Anoman ( Resi Mayangkara ), Begawan Maesaka, Yaksendra Jajagwreka, dan Gajah Setubanda. Prabu Karna dan patih Arya Sangkuni datang menghadap Begawan Kesawasidhi dan mengungkapkan bahwa kedatangannya adalah mengemban perintah raja ( Prabu Duryudana ) untuk mencari Wahyu Makutharama. Begawan Kesawasidhi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wahyu adalah tidak berbentuk dan tidak berwarna, tidak berarah, tidak pula bertempat tetapi hanyalah merupakan anugrah dari Hyang Widhi kepada manusia yang diterima karena tapa bratanya. Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni menduga bahwa Begawan Kesawasidhi mengetahui keberadaan wahyu Makutharama karena pengetahuannya yang meluas dan mendalam mengenai wahyu. Begawan Kesawasidhi akan diboyong ke Ngastina agar Wahyu Makutharama yang ada dalam dirinya dapat diberikan kepada Prabu Duryudana. Begawan Kesawasidhi menolak tawaran baik Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni menduga bahwa Begawan Kesawasidhi mengetahui keberadaan Wahyu Makutharama karena pengetahuannya yang luas dan mendalam mengenai wahyu. Begawan Kesawasidhi akan diboyong ke Ngastina agar Wahyu Makutharama yang ada dalam dirinya dapat diberikan kepada Prabu Duryudana. Begawan Kesawasidhi menolak tawaran baik Prabu Karna dan Patih Arya sangkuni sehingga menimbulkan peperangan. Dalam pertempurannya melawan Begawan Kesawasidhi, Prabu Karna terdesak sehingga ia melepaskan senjata andalannya, yaitu Kunta Wijayadanu tetapi sewaktu panah tersebut terlepas, Begawan Anoman segera menyahutnya. Prabu Karna merasa malu dan tidak berdaya sehingga ia meninggalkan medan pertempuran memisahkan diri dengan pasukan Kurawa yang kemudian juga mengundurkan diri.

Di tengah hutan, Arjuna bersama para punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk bermaksud menuju Gunung Kutharunggu. Ia mendapat isyarat dari eyangnya, yaitu Begawan Abiyasa ( Wiyasa ) raja padeta dari Saptaarga, bahwa kepergian kakaknya, yaitu Prabu Kresna ( Sri Batara Kresna ) bersamaan waktunya dengan diturunnya Wahyu Makutharama di gunung Kutharunggu.

Di pertapaan Deksana, Begawan Wibisana dihadap Patih Padyawastana atau Patih Reksabangsa. Begawan Wibisana menyuruh Patih Padyawastana untuk menyampaikan surat kepada putranya yaitu Prabu Wibisana. Adapun Begawan Wibisana bermaksud untuk pergi mencari penjelmaan junjungannya sekaligus gurunya yaitu Sri Bathara Ramawijaya. Sepeninggal Patih Padyawastana maka Begawan Wibisana mengheningkan Cipta dan memperoleh hadiah dewa dengan mengetahui keberadaan Sang Hyang Kesawa. Akan tetapi dalam melakukan samadi tersebut keempat nafsu
( catur driya ) dalam dirinya terlepas dan menyatakan ketidakpuasannya atas perlakuan sepihak Begawan Wibisana. Adapun keempat perwujudan nafsu Begawan Wibisana, yaitu : Nuraga, Angkasa, Lodra, dan Sukarda tersebut kemudian disarankan pergi ke gunung Kutharunggu agar berjumpa dengan satria utama yang akan mengantar dan menyempurnakan mereka kembali ke alam baka. Adapun Begawan Wibisana sendiri ingin mencari penjelmaan gurunya, yaitu Sri Bathara Ramawijaya yang akan membantunya mengantarkannya kembali ke sorga.

Sesampainya di hutan Suwelagiri, Arjuna dan Punakawan dihadang oleh Nuraga, Angkara Lodra, dan Sukarda. Keempat perwujutan nafsu Begawan Wibisana tersebut memaksa Arjuna untuk membunuhnya agar mereka kembali ke alam asalnya, tetapi Arjuna menolak permintaan mereka, sehingga menimbulkan pertempuran. Dengan bantuan Semar, Arjuna dapat menyempurnakan keempat perwujutan nafsu tersebut kembali ke alam baka.

Di Pertapaan Kutharanggu, Begawan Kesawasidhi dihadap oleh Begawan Anoman, Begawan Maenaka, Yaksendra Jajagwreka, dan Gajah Setubanda. Begawan Anoman menyerahkan senjata Kunta Wijayadanu yang dirampasnya dari pemiliknya yaitu Prabu Karna. Akan tetapi Begawan Anoman justru dipersalahkan oleh Begawan Kesawasidhi, karena dengan demikian ia melakukan empat macam dosa. Begawan Anoman sangat menyesali perbuatannya itu dan disarankan oleh Begawan Kesawasidhi agar Begawan Anoman melanjutkan tapa bratanya ke gunung kendhalisada bersama saudara-saudaranya untuk menebus dosa sekaligus memohon petunjuk Hyang Maha Wasesa. Sepeninggal Begawan Anoman bersaudara, Begawan Wibisana datang ke Kutharunggu. Maksudnya akan menguji keyakinannya bahwa Begawan Kesawasidhi adalah penjelmaan Sri Bathara Ramawijaya. Oleh sebab itu Begawan Wibisana mengusir Begawan Kesawisidhi dari pertapaannya di Kutharunggu dengan dalih belum meminta ijin kepada dirinya, sebagai penguasa di daerah Kutharunggu. Pertempuran tak terhindarkan, Begawan Wibisana dapat ditundukkan setelah Begawan Kesawasidhi adalah penjelmaan junjungannya sekaligus gurunya, yaitu Sri Bathara Ramawijaya. Begawan Kesawasidhi kemudian membantu Begawan Wibisana kembali ke sorga dengan cara membakarnya. Akan tetapi perjalanan suksma Begawan Wibisana tergoda oleh ratapan dan rintihan Arya Kumbakarna, kakaknya, yang keadaannya di alam Lokantara sangat menyedihkan. Begawan Wibisana bermaksud membantu saudaranya itu tetapi ia justru kehilangan arah, jalan yang ditempuhnya menjadi gelap gulita. Pada saat itulah Begawan Kesawasidhi datang dan mengingatkan kesalahan sukma Begawan Wibisana. Dengan bantuan gurunya, maka akhirnya Begawan Wibisana dapat melanjutkan perjalanannya kembali menuju surga. Adapun suksma Arya Kumbakarna disarankan membuat dharma dengan jalan menyatu kepada seorang satria yang berbudi luhur dan utama. Suksma Arya Kumbakarna disuruh pergi ke gunung Suwelagiri.

Di kerajaan Ngamarta ( Batanakawarsa ), Prabu Yudhisthira ( Darmakusuma ) dihadap oleh ketiga adiknya, yaitu : Arya Sena ( Wrekudara ), Nakula, dan Sadewa serta Prabu Gathutkaca. Prabu Yudhisthira kemudian memerintahkan Arya Sena dan Prabu Gathutkaca untuk mencari Prabu Kresna dan Arjuna.

Di ksatrian Madukara, Dewi Wara Subadra dihadap Dewi Wara Srikandhi, Dewi Larasati, dan Dewi Sulastri. Mereka memperbincangkan kepergian suami mereka, yaitu Arjuna yang tengah mencari Prabu Kresna. Dewi Subadra bermaksud menyusul Arjuna, Dewi Wara Srikandhi bersikeras menyertainya. Resi Kanekaputra ( Narada ) turun menemui mereka dan memberitahukan bahwa kepergian Arjuna adalah untuk mencari Wahyu Makutharama. Resi Kanekaputra kemudian membantu Dewi Wara Subadra dengan mengubahnya menjadi laki-laki dan diberinya nama Bambang Sintawaka sedangkan Dewi Wara Srikandhi diubahnya pula menjadi laki-laki dan diberinya nama Bambang Kandhihawa. Mereka kemudian dilemparkan Resi Kanekaputra dan jatuh di tengah hutan wilayah Suwelagiri.

Di tengah hutan tersebut Bambang Sintawaka sesumbar menantang para raksasa. Prabu Gathotkaca yang mendengar dari udara menjadi panas hatinya sehingga turun menemui Bambang Sintawaka dan Bambang Kandhihawa. Pertengkaran tak dapat dihindarkan tetapi dengan mudah Prabu Gathotkaca dikalahkan dan dianggapnya sebagai anak mereka serta disuruhnya untuk menyertai perjalanannya.

Di tengah hutan, sukma Arya Kumbakarna menanti datangnya satria utama, sebagaimana perintah Begawan Kesawasidhi. Tidak lama kemudian Arya Sena ( Wrekudara ) lewat. Arya Kumbakarna mendekap kakinya dan meminta ijin untuk menyatu dengan Arya Wrekudara, tetapi permintaan itu ditolaknya sehingga terjadilah pertempuran. Pada waktu Arya Wrekudara lengah maka sukma Arya Kumbakarna merasuk ke dalam betis kirinya.

Di padepokan Kutharunggu, Begawan Kesawasidhi menerima kedatangan Arjuna bersama para punakawan. Setelah Arjuna dipandangnya pantas menerima wahyu, maka Begawan Kesawasidhi kemudian memberinya wejangan tentang makna Wahyu Makutharama, yang intinya adalah Asthabrata, yang diambilnya dari delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta, yaitu: kisma ( tanah ), tirta ( air ), samirana ( angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra ( bulan ), baskara ( matahari ), dahana ( api ), dan kartika ( bintang ) atau disebut juga gunung. Arjuna kemudian disuruh untuk mencari dan menyerahkan senjata kunta Wijayadanu yang dirampas Begawan Anoman kepada Prabu Karna.

Arjuna menemukan Prabu Karna di tengah hutan, senjata Kunta Wijayadanu diserahkan. Akan tetapi Prabu Karna bermaksud meminta Wahyu Makutharama dari Arjuna. Arjuna menjelaskan bahwa Wahyu Makutharama tidak berujud dan tidak berwarna. Prabu Karna memaksakan kehendaknya sehingga terjadilah pertempuran tetapi dapat dikalahkan oleh Arjuna. Sepeninggalnya Prabu Karna, Arya Sena ( Wrekudara ) datang. Arya Wrekudara mengatakan bahwa kedatangannya bersama Arjuna adalah untuk mencari Prabu Kresna, kakaknya.

Bambang Sintawaka, Bambang Kandhihawa, dan prabu Gathotkaca ke pertapaan Kutharunggu. Bambang Sintawaka bermaksud meminta Arjuna, yang dianggap sebagai buruannya tetapi Begawan Kesawasidhi melindunginya sehingga pertempuran tak terhindarkan. Begawan Kesawasidhi bertempur melawan Bambang Sintawaka. Begawan Kesawasidhi akhirnya menjelma ( badar ) menjadi Prabu Kresna dan Bambang Sintawaka menjadi Dewi Wara Subadra. Dengan petunjuk Prabu Kresna Arjuna dapat memaksa Bambang Kandhihawa untuk menjelma kembali menjadi Dewi Wara Srikandi. Arya Wrekudara dan Prabu Gathotkaca pun akhirnya juga menghentikan pertempurannya. Prabu Kresna menjelaskan bahwa kepergiannya dari Dwarawati adalah untuk mengemban perintah Hyang Widi untuk menurunkan Wahyu Makutharama, yang akhirnya diperoleh oleh Arjuna. Kepada Wrekudara, Prabu Kresna menjelaskan bahwa Wrekudara mendapatkan tambahan kekuatan dari Arya Kumbakarna. Prabu Kresna kemudian mengajak saudara-saudaranya untuk kembali ke Ngamarta.

Di Ngastina, Prabu Duryudana menanti kedatangan Prabu Karna. Patih Arya Sangkuni kemudian datang dan melaporkan kegagalannya mencari wahyu. Prabu Karna kemudian datang dan melaporkan bahwa Arjuna telah mendapatkan Wahyu Makutharama. Prabu Duryudana kemudian memerintahkan Patih Arya Sangkuni untuk menyiapkan pasukannya menyerang Ngamarta.

Di kerajaan Ngamarta, prabu Yudhistira, Nakula, dan Sadewa menerima kedatangan Prabu Kresna, Arya Wrekudara, Arjuna, dan Gathotkaca. Prabu Kresna menerangkan bahwa kepergiannya dari kerajaan Dwarawati adalah mengemban parintah Hyang Wisesa untuk menurunkan Wahyu Makutharama. Pada saat itulah Patih Andaka Semeru datang menghadap untuk melaporkan bahwa Prabu Duryudana bersama pasukan Kurawa menyerang. Prabu Kresna memerintahkan Arya Wrekudara, Arjuna, dan Gathotkaca untuk menghadapi serangan tersebut. Arya Wrekudara bertempur melawan Prabu Duryudana, Arjuna bertempur melawan Prabu Karna,sedangkan Prabu Gathotkaca mengamuk menyerang pasukan Korawa. Prabu Kresna kemudian menciptakan angin menempuh pasukan Korawa hingga keluar dari Ngamarta. Prabu Kresna bersaudar kemudian menghadap Prabu Yudhistira untuk berpesta merayakan keberhasilan mereka.

c. KANDUNGAN FILOSOFIS PAKEM PEDHALANGAN LAMPAHAN MAKUTHARAMA

1. Seorang raja atau pemimpin perlu memiliki pegangan, pedoman, yang dapat dijadikan landasan bagi tata pemerintahannya, agar berbagai kebijakan yang diambil, ditetapkan atau diputuskan dapat adil, arif dan bijaksana, tidak menyimpang dari dharma,

2. Apabila seorang raja ( pemimpin ) ingin melangsungkan kedudukan atau kekuasaannya sampai pada anak keturunannya, maka ia perlu memiliki wahyu ( anugerah Illahi ), yang dapat memberinya tambahan kekuatan serta kewibawaan di dalam menyelenggarakan tata pemerintahannya.

3. Adapun untuk memperoleh wahyu, seorang raja ( pemimpin ) atau pun siapa saja harus memintanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ( dewa ), dengan berlandaskan pada: hati yang bersih, kerendahan hati ( tidak sombong dan membanggakan kedudukan ), memiliki tekad dan kemauan yang keras, mau berprihatin ( bertapa-brata ), serta mau meninggalkan untuk sementara hal-hal yang bersifat keduniawian. Di dalam mencari wahyu, perlu dilakukan sendiri, tidak diwakilkan kepada orang lain ( seperti Prabu Duryudana untuk memperolah Wahyu Makutharama ) mewakilkan kepada Prabu Karna sehingga gagal ). hal ini penting sebab wahyu tidak memilih untuk bertempat ( berdiam ) kepada seseorang yang memiliki pangkat, kedudukan/jabatan, atau pun kekayaan.

4. Di dalam mencari wahyu, seorang raja ( pemimpin ) perlu membersihkan hati dan mencucikan jiwanya dengan menanggalkan serta meninggalkan berbagai nafsu yang melekat di dalam jiwanay, misalnya :

a. Nafsu atau keinginan untuk makan yang enak, bersetubuh, yang dapat membuatnya panjang umur dan badan sentausa, yang lambangnya pada diri Lodra.

b. Nafsu atau keinginan untuk berpakaian atau memperindah diri ( bersolek ), mencintai keindahan, suka dan gembira, yang dilambangkan pada diri Sukarda.

c. Nafsu atau keinginan untuk berolah kanuragan dan kesaktian, pemberani, tatag tangguh, yang dilambangkan pada diri angkara.

d. Nafsu atau keinginan untuk memiliki perasan belas kasihan, sedih dan sengsara, berhati suci, hemat yang dilambangkan pada diri Nuraga.

Dengan menanggalkan dan meninggalkan ke empat macam nafsu, yang dapat dijajarkan dengan Luamah, Amarah, Supiah, dan Mutmainah, seseorang akan berpeluang untuk mendapatkan penerangan Illahi ( wahyu ). Hal ini dapat dilihat pada diri Begawan Wibisana, setelah ia mengeluarkan, menanggalkan ke empat nafsunya itu, maka ia mendapatkan penerangan Illahi ( dewa ) sehingga ia dapat mencari penjelmaan Sri Bathara Ramawijaya, yang berdiam dan menyatu dalam diri Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ). Demikian pula halnya Arjuna, setelah berhasil mengatasi gangguan ke empat perwujutan nafsu Begawan Wibisama, yaitu : Lodra, Sukarda, Angkara, dan Nuraga ) maka ia pun akhirnya berhasil mencari gunung Khuntarunggu dan mendapatkan wejangan dan uraian tentang makna Wahyu Makutharama dari Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ).

5. Wahyu Makutharama adalah ilmu pegangan dan pedoman bagi Sri Bathara Ramawijaya dalam menyelenggarakan tata pemerintahan di kerajaan Pancawati ( Pancawatidhendha ). Pada dasarnya Wahyu Makutharama berintikan Asthabrata ( Hastabrata ), yaitu : delapan laku ( watak ) dewa atau delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta, yang harus dipakai oleh seorang raja ( pemimpin ). Adapun sifat ke delapan anasir ( unsur ) alam semesta dan penerapannya itu dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kisma ( tanah/ bumi ):
bersifat selalu memperlihatkan kemurahan dengan memberi dana. Segala tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan segala yang hidup, tidak lain karena disebabkan oleh buah yang dihasilkan dari tanah. Meskipun tanah dianiaya oleh manusia dengan cara dicangkuli, digali, tetapi justru tanah memperlihatkan kemurahannya. Beraneka macam harta benda, misalkan emas, permata, diberikan kepada manusia yang menganiaya tanah.
Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) hendaklah memiliki sifat tanah, yaitu : selalu bermurah hati kepada siapapun yang meminta belas kasihan raja. Bahkan andaikata hati raja ( pemimpin ) disakiti hendaknya dibalasnya dengan dharma.

b. Tirta ( air ):
bersifat rendah hati, tidak mau unggul-mengungguli, tidak merendahkan sebab air itu bersifat merata dan mengalir ke tempat yang rendah, tetapi air memiliki faedah yang besar, yaitu mendinginkan dan menyembuhkan orang yang sakti. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) hendaknya memiliki sifat air, tidak merendahkan kemampuan dan kepandaian orang lain, serta harus selalu mau turun ke bawah untuk melihat sendiri keadaan rakyatnya.

c. Samirana ( angin ): bersifat rajin dan teliti, serta dapat menyusup ke segala tempat. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus selalu meneliti di mana pun ia berada. Di dalam meneliti harus secara seksama sehingga rakyatnya dapat diketahui, baik yang kotor atau pun yang sakti.

d. Samodra ( samudra/lautan ) : bersifat luas tanpa batas. Segala benda dan air sungai yang tak terkira, yang mengalir ke dalamnya, tak membuat samudra ( lautan ) penuh dan meluap. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus berhati luas dan sabar. Raja ( pemimpin ) harus dapat menampung ( momot ) aspirasi rakyatnya, baik dalam keadaan suka ataupun duka, kesemuanya itu dihadapinya dengan raup wajah yang cerah, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila raja ( pemimpin ) merasa sakit hati karena rakyatnya maka ia segera dapat meredamnya.

e. Candra ( bulan ) : bersifat menerangi dan memberikan kesejukan ke seluruh dunia. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus selalu mempelajari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kepandaiannya. Ilmu pengetahuan dan kepandaian yang diperoleh raja ( pemimpin ) itu hendaknya kemudian diajarkan sebagai penerang bagi rakyatnya, dengan tidak memandang apakah rakyatnya itu tinggal di dalam kota, di desa, atau bahkan di lereng gunung, tanpa memandang apakah rakyatnya itu berpangkat atau tidak. pendek kata semuanya diberi pelajaran.

f. Baskara ( matahari ): bersifat selalu memberi daya kekuatan kepada semua yang tergelas ( terbentang ) di dunia. Samudra/lautan dapat menguap menjadi awan, sampai akhirnya menjadikan hujan, semua itu tidak lain karena daya kekuatan matahari. Bumi berkembang untuk menumbukan berbagai tumbuh-tumbuhan, hal itu pun tidak lain karena daya sinar matahari. Dalam menyinari samudra/lautan maupun tanah ( bumi ), matahari melakukannya dengan sabar, perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, seperti halnya perjalanan matahari dari ufuk timur ke ufuk barat. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat seperti matahari, ia harus selalu memberikan daya kekuatannya kepada rakyatnya. Para nahkoda, petani, dan para pekerja yang kekurangan semuanya harus mendapat limpahan kasih raja sebagai modal kerja bagi mereka. Meskipun di kelak kemudian hari mereka harus mengembalikan modal kerja tersebut, tetapi raja ( pemimpin ) harus dapat bersabar hati ( tidak tergesa-gesa menarik modal kerja tersebut ), melainkan menanti setelah mereka memperoleh hasil dari usahanya.

g. Dahana ( api ) : bersifat menyelesaikan. Tidak ada satu pun yang tidak hancur oleh api. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat api. Dalam menerapkan pengadilan bagi rakyatnya harus dapat bertindak adil. Segala perkara yang diserahkan kepada raja ( pemimpin ) harus selesai, sempurna dengan adil bijaksana, tidak ada yang diuntungkan atau dirugikan.

h. Kartika ( bintang ) atau pun disebut juga gunung: bersifat teguh tegar ( sentausa ). Meskipun gunung di terjang oleh angin prahara, tetapi bayu bajra tidak dapat menggoyahkan gunung, bahkan membelok arahnya ke kanan atau ke kiri, karena kalah oleh perbawa ( kewibawaan ) dan kekuatan gunung. Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat bintang atau pun gunung, sehingga segala hal yang diperintahkan harus tetap dijalankan, tidak boleh berubah.

6. Ajaran Astabrata ( Hastabrata ) dalam Wahyu Makutharama, kiranya tidak hanya diperuntukkan untuk raja atau penguasa ( pemimpin ) agar dijadikan pegangan, pedoman dalam ,mengendalikan tata pemerintahan, tetapi ajaran di dalamnya tersebut dapat diambil oleh manusia biasa untuk meningkatkan kualitas batin dan jiwanya dalam usahanya menyempurnakan diri. Manusia yang mampu mencerna dan meresapi, serta menerapkannya inti astabrata secara sungguh-sungguh, niscaya akan menjadi manusia pendeta yang dalam fikiran, tutur kata, dan perbuatannya dapat bersikap arif bijaksana. Pancaran dari dalam dirinya terasa menyejukkan, meneduhkan, dan menenangkan bagi orang lain di dekatnya, terlebih lagi pada keluarga dan kerabatnya.

7. Sumber ajaran Astabrata mengalami pergeseran, kalau semula yang diambil sebagai sumbernya adalah delapan watak ( laku ) dewa, yaitu : Indra, Bayu, Agni, Surya, Yama, Anila, Kuwera, dan Baruna, tetapi dalam perkembangannya kemudian mengambil delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta ( filsafat alam ), yaitu : kisma ( tanah/bumi ), tirta ( air ), samirana ( angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra ( bulan ), baskara ( matahari ) dahana ( api ), dan kartika ( bintang ) yang juga disebut sifat gunung.

8. Dalam hubungan antara guru dengan muridnya atau raja dengan bawahannya maka guru atau raja harus dapat menjadi pelindung, pengayom, pemberi petunjuk yang benar kepada murid-muridnya atau para bawahannya. Sebaliknya para murid atau pun para bawahan harus percaya sepenuhnya kepada kelebihan-kelebihan gurunya atau rajanya ( tuannya ). penjajagan akan kelebihan-kelebihan guru atau raja, kiranya dapat dilihat dari kerendahan hatinya, tutur katanya atau bobot pembicaraannya,bukan dengan kekerasan dan kekuatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar