Dilihat
dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama
yang berkedudukan baik dan mulia. KHM. Hasyim Asy’ari merupakan
keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis
keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad
Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad
bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet
bin Prabu Brawijaya VI.
Semenjak
masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar.
Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri.
Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu
pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan
Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia
sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya
jauh lebih tua dari dirinya.
Kemauan
yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim
sebagai musyafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari
pondok satu ke pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama
bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur
pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi
Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi. Muhammad Hasyim adalah murid
kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli
hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.
Pada
tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, KHM.
Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang
lain mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam
terbesar di Indonesia.
KHM.
Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh
kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha
Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih
dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab,
beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud
sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat
ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari
ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan
para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu
kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.
Dalam
rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim
Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M.
Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi
“pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah
kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang
(Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa
mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus
Tebuireng.
Dari sini
dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan
penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir
seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila
kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih
mempertahankan madzhab, yang akhirnya berada dalam satu barisan
“Nahdlatul Ulama”, semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian
Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang
cukup panjang.
Pengabdian
Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga
pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat
nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu
penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup
sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana
pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua
unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau
sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak
belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo
maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam
rangka perjuangan mengusir penjajah.
Karena
sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak
henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937
misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia
Belanda bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari
perak dan emas. Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan kemudian beliau bergegas
mengumpulkan para santrinya dan berkata :
“Sepanjang
keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika
dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu
bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan
menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi,
harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda
Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan
pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah,
umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan
di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak
akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di
mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan….”.
Sikap
seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang
disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno
Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah
Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris
setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak sekolah,
pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di
pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.
Melakukan
‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa besar.
Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang
hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun
terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa
Langit, haramlah diberi hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai
ruku itu.
Akibat
penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke
Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam
penjara Bubutan, Surabaya.
Selama
dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga
jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun
berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun
luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai
alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan
bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada
guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun.
Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah
tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang
agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan
dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.
Pada
bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk
organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la
Indonesia) dan diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
yang non politik, pimpinan tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim
Asy’ari. Dan pada tahun 1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang
menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan Agama).
Pada
masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil
membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri
dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda
anggota Hizbullah ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.
Pada
tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM.
Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah
Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar