Selasa, 04 September 2012

Hidangan dan Makanan dalam Upacara Kematian (Ta’ziyah) (PBNU)

Menghormati tamu memang dianjurkan dalam Islam. Bahkan dalam salah satu hadits disebutkan bahwa menghormati tamu merupakan artikulasi keimanan seseorang.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Bagaimana jika seorang tamu berkunjung dengan niatan berta’ziyah ikut berbela sungkawa karena kematian seorang anggota keluarga? Tentunya tata cara penghormatannya juga harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena situasinya sedang berkabung, maka menghormati tamu hendaknya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan keperhatinan. Berbeda dengan menjamu tamu ketika berpesta (walimatul urusy atau walimatul khitan).

Namun tradisi yang telah berkembang di sebagian masyarakat justru sebaliknya. Mereka membuat acara berkabung ini dengan semacam pesta; dengan menyembelih sapi, atau kerbau ataupun dengan memasak makanan dalam porsi yang besar. Sehingga keadaan duka itu tidak terasa lagi, bahkan hilang sama sekali. Hal ini menyebabkan  fungsi ta’ziyah sebagai salah satu wahana pengingat mati (tadzkiratul maut), dengan harapan meningkatkan ketaqwaan tidak tercapai. Bahkan dapat membebani keluarga sohibul mushibah (yang ditinggal mati), lebih-lebih jika sohibul mushibah itu keluarga yang kurang mampu.

Begitu juga dengan berbagai macam suguhan yang dihidangkan ketika tahlil selama seminggu. Sesungguhnya hal itu tidak merupakan kewajiban dan tidak pula sebuah keharusan. Hal ini perlu dipahami karena seringnya masyarakat menyeleggarakan telung dino (tradisi memperingati hari ketiga dari kematian) atau mitung dino (tradisi memperingati hari ke tujuh dari kematian) dengan berbagai macam makanan dan jajanan.

Oleh karena itu hal ini perlu diluruskan kembali, bahwasannya berbagai macam tradisi peringatan kematian itu adalah anjuran syari’at Islam. Akan tetapi berbagai macam makanan dan sesuguhan itu yang selalu dihadirkan bersamaan denga tradisi tersebut adalah bentuk dari perkembangan tradisi dan harus dipilah-pilah lagi. Apabila salah memahami bisa-bisa jatuh pada hukum makruh yang harus dihindari. Misalkan keyakinan bahwa menyuguhkan hidangan/makanan dalam ta’ziyah atau nelung dino juga mitung dino dengan harus pada hari ketiga atau ke-tujuh dan tidak boleh pada selain hari itu, hukumnya bisa menjadi makruh.Meskipun hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu, hendaknya keyakinan semacam itu didudukkan pada tempatnya.

Hal ini persis dengan yang digambarkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fatati tamuwal Kubra al-Fiqhiyah:

(وَسُئِلَ) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.
Dalam ibarat di atas dikisahkan bahwa Imam Ibnu Hajar ditanya, bagaimanakah hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa bersama mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur? Bagaimana dengan yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah? Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang menyalurkan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya?

Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tidak baik, meski tidak sampai pada derajat haram; kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit.

Hal yang perlu diperhatikan pada saat menghormati tamu yang bertakziyah adalah jangan sampai memaksakan diri untuk menyajikan hidangan yang berlebihan, semata-mata agar dianggap pantas oleh orang lain. Hormatilah tamu dengan hidangan sepantasnya saja, karena sejatinya para tamu memahami kondisi tuan rumah yang sedang berkabung. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi SAW. Kedua, harta yang digunakan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah (warisan). Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, karena bisa jadi sebagian dari ahli waris tidak rela jika tirkah itu digunakan sebelum dibagikan.

Disarikan dari Ahkamul Fuqaha (Jakarta: Sekretariatan PBNU, 2010).
Redaktur: Ulil Hadrawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar