SUKARNO
DAN ISLAM SONTOLOYO
Oleh: Roso Daras
Tahun 1940, Bung
Karno sudah dikenal luas sebagai tokoh pergerakan, lokomotif perjuangan
kemerdekaan Indonesia .
Sebagian masyarakat juga mengenal Bung Karno melalui tulisan-tulisannya yang
tajam dan kritis di berbagai media massa
cetak. Bersama teman-teman seperjuangan, Bung Karno menerbitkan majalah Fikiran
Ra’jat di Bandung. Selain menulis rutin, sesekali Bung Karno juga melukis
karikatur. Selain itu, Bung Karno juga menulis berbagai artikel di berbagai
media massa
cetak.
Pernah
satu ketika, di tahun 1940, Bung Karno menulis artikel di majalah Panji Islam
berjudul “Islam Sontoloyo”. Saya mencoba mencari literatur tentang makna, arti,
pengertian harfiah “sontoloyo”. Agak susah mendefinisikan…. Ia seperti sebutan
lain semisal “semprul”, “abal-abal”, “gombal”, “preketek”… saya kira
masing-masing daerah punya idiom sendiri-sendiri untuk menggambarkan pengertian
itu secara lebih pas dan membumi.
Dalam
tulisan tersebut, Bung Karno sejatinya menggugat perilaku masyarakat Islam,
mulai dari ulama hingga jemaah yang semata hanya mengagungkan fiqh
atau fikih. Banyak perbuatan yang keliru bahkan berkonsekuensi dosa menurut
ajaran Islam itu sendiri, tetapi dihalalkan dengan sarung fikih.
Yang
menarik, Bung Karno mengutip hampir utuh sebuah berita guru mengaji yang
mencabuli murid-muridnya, yang dimuat di suratkabar Pemandangan.
Dituturkan, ihwal kelakuan si guru ngaji yang menjalankan salah satu ritual
pengajian setiap malam jumat. Para murid
diajak berdzikir dari maghrib hingga subuh. Sebelumnya, mereka harus
meneriakkan kalimat “Saya muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru
demikian, katanya, Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka.
Setiap
murid perempuan, sekalipun anak-anak, wajib menutup muka. Dalam mengaji, mereka
dipisah dari para murid laki-laki. Dimulailah pelajaran dari bab “perempuan itu
boleh disedekahi”. Akan tetapi, karena perempuan tidak boleh dilihat laki-laki
(kecuali suami), maka itulah mereka diwajibkan menutupi mukanya. Nah, bagaimana
sang guru bisa “menyedekahi” murid-murid yang perempuan?
Di
sinilah sang guru menjelaskan, perlunya para murid itu “dimahram dahulu”.
Artinya, perempuan-perempuan itu mesti dinikah olehnya. Maka, yang jadi
kiyainya, ia juga, yang jadi pengantinnya, ia juga. Caranya?
Kalau
seorang murid lelaki yang punya istri, pertama, si suami diminta menjatuhkan
talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki lain (kawan
muridnya juga), kemudian menalaknya lagi, berturut-turut tiga kali dinikahkan
dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya sendiri.
Sedangkan
yang gadis, tidak dinikahkan dulu, melainkan langsung dinikahi sang kiyai. Bung
Karno menyebut kiyai model ini dengan sebutan “Dajal”. Dengan demikian,
tiap-tiap istri yang jadi muridnya, di mata murid yang lain pun, adalah istri
daripada si Dajal itu sendiri. Termasuk kisah di Pemandangan itu. Di mana
seorang gadis yang sudah dinikahi, dimasukkan ke bilik dan di situlah dirusak
kehormatanya. Halal, dianggap sah, karena sudah diperistri!
Bung
Karno lantas menulis, jikalau berita di suratkabar Pemandangan itu benar, maka
benar-benarlah di sini kita melihat Islam Sontologo! Sesuatu perbuatan dosa
dihalalkan menurut hukum fiqh. Tak ubahnya dengan tukang merentenkan uang yang
menghalalkan ribanya.
Di
pandangan Bung Karno, praktik Islam Sontoloyo itu ibarat orang yang main-main
kikebu dengan Tuhan. Dalam bahasa lain, orang yang mau main kucing-kucingan
dengan Tuhan. Dalam kalimat lain, seperti orang yang hendak meng-abu-i mata
Tuhan. Bung Karno lantas menguraikan, Islam tidak menganggap fiqh sebagai
satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utama terletak pada ketundukan jiwa kita
kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar