Monday, 14 February 2011 04:52
Wayang-Indonesia
Karya : Ki Siswaharsodjo
Oleh : Anung Tedjowirawan
Fakultas Sastra UGM
Yogyakarta 1998
A. PENGANTAR
Di dalam seni pertunjukan Wayang Kulit (
Purwa ) terdapat lakon-lakon yang bertemakan wahyu, misalnya : Wahyu
Makutharama, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Kastuba Urip, Wahyu Tohjali
Abadi, Wahyu Sih Nugraha, dan Wahyu Purbasejati.
Poerwadarminta mengartikan kata wahyu
adalah 'wedaring Allah mungguhing prakara gaib' atau pulung nugrahaning
Allah. "Ketiban Wahyu" berarti 'oleh pulung nugrahaning Allah ( bakal
dadi luhur lan sapanunggalane )' ( Poerwadarminta, 1939 : 652 ). Jadi
wahyu adalah penerangan dari Allah mengenai segala macam yang
berhubungan dengan kegaiban atau pulung sebagai karunia dari Allah.
Kejatuhan wahyu berarti mendapat pulung sebagai karunia dari Allah.
Wahyu sering juga disebut sebagai
kemuliaan Illahi, keuntungan dan kejayaan. Daya kekuatan wahyu sering
dilambangkan dengan warna putih kekuning-kuningan. Warna itu wataknya
"rila legawa" ( Arman Subana, 1996 : 95 ). Pulung dapat menimbulkan
watak "welas asih" 'belas kasih' bagi yang menerimanya sehingga ia
diliputi oleh suasana yang lebih baik, memiliki sifat suka membantu
orang lain, tetapi sebaliknya ia pun dikasihi oleh orang lain.
Di dalam lakon-lakon pertunjukan wayang
yang bertemakan wahyu di atas terdapat beberapa perbedaan baik dalam
pengertian maupun bentuk dari wahyu-wahyu di atas. Di dalam lakon wahyu
Makutharama, wahyu adalah anugerah berupa ajaran/petunjuk atau wejangan,
tentang ilmu Sri Bathara Ramawijaya yang dijadikan pedoman, pegangan
dalam memerintah negara ( Pancawatidhendha ) yang disebutnya sebagai
Asthabrata, yaitu delapan laku atau delapan sifat anasir ( unsur ) alam
semesta, yaitu: kisma ( tanah/bumi ), tirta ( air ), samarana ( angin ),
samodra ( samudra/lautan ), candra
( bulan ), baskara ( matahari ), dahana
(api), dan kartika ( bintang ) atau disebut juga gunung. Wahyu
Makutharama tersebut disampaikan oleh Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna
) kepada Arjuna.
Dalam lakon Wahyu Cakraningrat, wahyu
digambarkan sebagai makluk surgawi, dapat bercakap-cakap, dan berjenis
pria, adapun pasangannya adalah Wahyu Anggani. Pada akhirnya Wahyu
Cakraningrat masuk ke dalam diri Abimanyu
( Angkawijaya ) sedangkan kelak Wahyu
Anggani masuk ke dalam diri Utari. Tokoh yang menerima Wahyu tersebut
kelak akan menurunkan raja. Hal ini terbukti bahwa anak Abimanyu, yakni
Pariksit ( Parikesit ) kelak dinobatkan sebagai raja di Hastina
menggantikan Yudhistira, yang bersama-sama dengan saudara-saudaranya
kemudian mempersiapkan diri untuk kembali ke sorga.
Dalam lakon Wahyu Kastuba Urip, wahyu
digambarkan berupa pusaka dan senjata milik para pandawa yang kemudian
kembali lagi kepada pemiliknya. Adapun pusaka dan para Pandawa yang
semula hilang tersebut antara lain adalah Jamus Kalimasada, Gada
Rujakpolo, dan Keris Pulanggeni. Adapun yang menerima wahyu tersebut
adalah Abimanyu
( Jayalengkara ) setelah ia memanah pohon hidup ( Sigit Widodo, 1988 : 94 ).
Dalam lakon Wahyu Tohjali Abadi, wahyu
dilukiskan berupa petunjuk yang diberikan oleh Dewa Ruci ( yang
bersemayam di dalam kuncung Semar ) kepada Puntadewa, Werkudara, Arjuna,
Nakula, dan Sadewa. Isi petunjuk tersebut adalah bahwa yang ketempatan
wahyu sehingga menurunkan darah raja adalah Arjuna. Adapun yang
menurunkan Wahyu Tohjali Abadi adalah Ismaya ( Semar ) ( Sigit Widodo,
1988: 97-98 ).
Dalam lakon Wahyu Sih Nugraha, wahyu
dilakukan sebagai wejangan Jiwandana kepada Sadewa tentang ilmu
kesempurnaan hidup. Jiwandana adalah wahana Wahyu Sih Nugraha. Setelah
memberi wejangan ' petunjuk ' Jiwandana kemudian berubah menjadi sinar
cemerlang dan masuk bersatu dengan Sadewa ( Sigit Widodo, 1988 : 96-97
).
Dalam lakon Wahyu Purbasejati, wahyu
digambarkan berupa penjelmaan Ramawijaya dan Laksmanawidagda ke dunia ke
dalam diri Kresna dan Arjuna. Ramawijaya bersifat purba sedangkan
Laksmanawidagda bersifat sejati. Oleh sebab itu turun dan menjelmanya
Ramawijaya dan Laksmanawidagda disebutnya Wahyu Purbasejati. Di dalam
penjelmaannya ke dunia, Wisnu memiliki lima macam tugas, yaitu:
1. Purba, berada dalam diri Sri Ramawijaya,
2. Wasesa, berada dalam diri Sri Kresna,
3. Sejati, berada dalam diri Laksmanawidagda,
4. Lowih, berada dalam diri Arjuna,
5. Murti, berada dalam diri Wibisana.
Dengan menjelma ke dalam diri Kresna maka
sifat Wisnu sebagai purba ( Sri Ramawijaya ) bersatu dengan wasesa (
Sri Kresna ). Dengan demikian Kresna memiliki dua sifat Wisnu, yakni
Purba dan wasesa. Adapun Arjuna memiliki dua sifat Wisnu, yakni sejati (
Laksmanawidagda ) dan lowih ( Arjuna ). Kresna adalah Tuhan yang turun
ke dunia sebagai Pelindung Dunia sedangkan Arjuna adalah Wisnu yang
turun ke dunia sebagi manusia sejati dan sakti atau sebagai Manusia
Agung ( Arman Subana, 1996: 96-100 ). Dengan berkumpulnya Kresna dan
Arjuna maka diibaratkan seperti madu 'madu' dan manise 'manisnya',
seperti geni 'api' dan urube 'nyalanya'. Madunya Kresna manisnya
Arjuna, apinya Kesawa ( Wisnu/Kresna ) nyalanya Janaka ( Arjuna ).
Keduanya bersama-sama melaksanakan kewajiban sebagai pelindung dunia.
Di dalam pentas pertunjukan wayang
beberapa dalang yang telah mementaskan lakon Wahyu Makutharama dan
direkan dalam bentuk pita kaset, antara lain adalah Ki Anom Soeroto dan
Ki Timbul Hadiprayitna. Adapun dalam pembahasan cerita Wahyu Makutharama
dalam seminar kali ini, Sumber yang dipakai adalah Pakem Pedhalangan
Lampahan Makutharama karya Ki Siswoharsojo, cetakan VI, Toko Buku " S. G
" Ngayogyakarta tahun 1979.
B. SINOPSIS
Di kerajaan Ngastina, Prabu Duryudana
dihadap Pendita Durna, patih Arya Sangkuni dan segenap pembesar kerajaan
Ngastina. Prabu Duryudana menyampaikan ilham dewa bahwa Hyang
Jagadpratingkah menurunkan Wahyu Makutharama di gunung Kutharunggu.
Berhubung Prabu Duryudana tidak mau bertapa untuk mendapatkan wahyu
tersebut maka disuruhnya Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni untuk
mewakilinya pergi ke gunung Kutharunggu mencari wahyu tersebut.
Di pertapaan Kutharunggu, Begawan
Kesawasidhi diharap oleh Begawan Anoman ( Resi Mayangkara ), Begawan
Maesaka, Yaksendra Jajagwreka, dan Gajah Setubanda. Prabu Karna dan
patih Arya Sangkuni datang menghadap Begawan Kesawasidhi dan
mengungkapkan bahwa kedatangannya adalah mengemban perintah raja ( Prabu
Duryudana ) untuk mencari Wahyu Makutharama. Begawan Kesawasidhi
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wahyu adalah tidak berbentuk dan
tidak berwarna, tidak berarah, tidak pula bertempat tetapi hanyalah
merupakan anugrah dari Hyang Widhi kepada manusia yang diterima karena
tapa bratanya. Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni menduga bahwa Begawan
Kesawasidhi mengetahui keberadaan wahyu Makutharama karena
pengetahuannya yang meluas dan mendalam mengenai wahyu. Begawan
Kesawasidhi akan diboyong ke Ngastina agar Wahyu Makutharama yang ada
dalam dirinya dapat diberikan kepada Prabu Duryudana. Begawan
Kesawasidhi menolak tawaran baik Prabu Karna dan Patih Arya Sangkuni
menduga bahwa Begawan Kesawasidhi mengetahui keberadaan Wahyu
Makutharama karena pengetahuannya yang luas dan mendalam mengenai wahyu.
Begawan Kesawasidhi akan diboyong ke Ngastina agar Wahyu Makutharama
yang ada dalam dirinya dapat diberikan kepada Prabu Duryudana. Begawan
Kesawasidhi menolak tawaran baik Prabu Karna dan Patih Arya sangkuni
sehingga menimbulkan peperangan. Dalam pertempurannya melawan Begawan
Kesawasidhi, Prabu Karna terdesak sehingga ia melepaskan senjata
andalannya, yaitu Kunta Wijayadanu tetapi sewaktu panah tersebut
terlepas, Begawan Anoman segera menyahutnya. Prabu Karna merasa malu dan
tidak berdaya sehingga ia meninggalkan medan pertempuran memisahkan
diri dengan pasukan Kurawa yang kemudian juga mengundurkan diri.
Di tengah hutan, Arjuna bersama para
punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk bermaksud menuju Gunung
Kutharunggu. Ia mendapat isyarat dari eyangnya, yaitu Begawan Abiyasa (
Wiyasa ) raja padeta dari Saptaarga, bahwa kepergian kakaknya, yaitu
Prabu Kresna ( Sri Batara Kresna ) bersamaan waktunya dengan diturunnya
Wahyu Makutharama di gunung Kutharunggu.
Di pertapaan Deksana, Begawan Wibisana
dihadap Patih Padyawastana atau Patih Reksabangsa. Begawan Wibisana
menyuruh Patih Padyawastana untuk menyampaikan surat kepada putranya
yaitu Prabu Wibisana. Adapun Begawan Wibisana bermaksud untuk pergi
mencari penjelmaan junjungannya sekaligus gurunya yaitu Sri Bathara
Ramawijaya. Sepeninggal Patih Padyawastana maka Begawan Wibisana
mengheningkan Cipta dan memperoleh hadiah dewa dengan mengetahui
keberadaan Sang Hyang Kesawa. Akan tetapi dalam melakukan samadi
tersebut keempat nafsu
( catur driya ) dalam dirinya terlepas
dan menyatakan ketidakpuasannya atas perlakuan sepihak Begawan Wibisana.
Adapun keempat perwujudan nafsu Begawan Wibisana, yaitu : Nuraga,
Angkasa, Lodra, dan Sukarda tersebut kemudian disarankan pergi ke gunung
Kutharunggu agar berjumpa dengan satria utama yang akan mengantar dan
menyempurnakan mereka kembali ke alam baka. Adapun Begawan Wibisana
sendiri ingin mencari penjelmaan gurunya, yaitu Sri Bathara Ramawijaya
yang akan membantunya mengantarkannya kembali ke sorga.
Sesampainya di hutan Suwelagiri, Arjuna
dan Punakawan dihadang oleh Nuraga, Angkara Lodra, dan Sukarda. Keempat
perwujutan nafsu Begawan Wibisana tersebut memaksa Arjuna untuk
membunuhnya agar mereka kembali ke alam asalnya, tetapi Arjuna menolak
permintaan mereka, sehingga menimbulkan pertempuran. Dengan bantuan
Semar, Arjuna dapat menyempurnakan keempat perwujutan nafsu tersebut
kembali ke alam baka.
Di Pertapaan Kutharanggu, Begawan
Kesawasidhi dihadap oleh Begawan Anoman, Begawan Maenaka, Yaksendra
Jajagwreka, dan Gajah Setubanda. Begawan Anoman menyerahkan senjata
Kunta Wijayadanu yang dirampasnya dari pemiliknya yaitu Prabu Karna.
Akan tetapi Begawan Anoman justru dipersalahkan oleh Begawan
Kesawasidhi, karena dengan demikian ia melakukan empat macam dosa.
Begawan Anoman sangat menyesali perbuatannya itu dan disarankan oleh
Begawan Kesawasidhi agar Begawan Anoman melanjutkan tapa bratanya ke
gunung kendhalisada bersama saudara-saudaranya untuk menebus dosa
sekaligus memohon petunjuk Hyang Maha Wasesa. Sepeninggal Begawan Anoman
bersaudara, Begawan Wibisana datang ke Kutharunggu. Maksudnya akan
menguji keyakinannya bahwa Begawan Kesawasidhi adalah penjelmaan Sri
Bathara Ramawijaya. Oleh sebab itu Begawan Wibisana mengusir Begawan
Kesawisidhi dari pertapaannya di Kutharunggu dengan dalih belum meminta
ijin kepada dirinya, sebagai penguasa di daerah Kutharunggu. Pertempuran
tak terhindarkan, Begawan Wibisana dapat ditundukkan setelah Begawan
Kesawasidhi adalah penjelmaan junjungannya sekaligus gurunya, yaitu Sri
Bathara Ramawijaya. Begawan Kesawasidhi kemudian membantu Begawan
Wibisana kembali ke sorga dengan cara membakarnya. Akan tetapi
perjalanan suksma Begawan Wibisana tergoda oleh ratapan dan rintihan
Arya Kumbakarna, kakaknya, yang keadaannya di alam Lokantara sangat
menyedihkan. Begawan Wibisana bermaksud membantu saudaranya itu tetapi
ia justru kehilangan arah, jalan yang ditempuhnya menjadi gelap gulita.
Pada saat itulah Begawan Kesawasidhi datang dan mengingatkan kesalahan
sukma Begawan Wibisana. Dengan bantuan gurunya, maka akhirnya Begawan
Wibisana dapat melanjutkan perjalanannya kembali menuju surga. Adapun
suksma Arya Kumbakarna disarankan membuat dharma dengan jalan menyatu
kepada seorang satria yang berbudi luhur dan utama. Suksma Arya
Kumbakarna disuruh pergi ke gunung Suwelagiri.
Di kerajaan Ngamarta ( Batanakawarsa ),
Prabu Yudhisthira ( Darmakusuma ) dihadap oleh ketiga adiknya, yaitu :
Arya Sena ( Wrekudara ), Nakula, dan Sadewa serta Prabu Gathutkaca.
Prabu Yudhisthira kemudian memerintahkan Arya Sena dan Prabu Gathutkaca
untuk mencari Prabu Kresna dan Arjuna.
Di ksatrian Madukara, Dewi Wara Subadra
dihadap Dewi Wara Srikandhi, Dewi Larasati, dan Dewi Sulastri. Mereka
memperbincangkan kepergian suami mereka, yaitu Arjuna yang tengah
mencari Prabu Kresna. Dewi Subadra bermaksud menyusul Arjuna, Dewi Wara
Srikandhi bersikeras menyertainya. Resi Kanekaputra ( Narada ) turun
menemui mereka dan memberitahukan bahwa kepergian Arjuna adalah untuk
mencari Wahyu Makutharama. Resi Kanekaputra kemudian membantu Dewi Wara
Subadra dengan mengubahnya menjadi laki-laki dan diberinya nama Bambang
Sintawaka sedangkan Dewi Wara Srikandhi diubahnya pula menjadi laki-laki
dan diberinya nama Bambang Kandhihawa. Mereka kemudian dilemparkan Resi
Kanekaputra dan jatuh di tengah hutan wilayah Suwelagiri.
Di tengah hutan tersebut Bambang
Sintawaka sesumbar menantang para raksasa. Prabu Gathotkaca yang
mendengar dari udara menjadi panas hatinya sehingga turun menemui
Bambang Sintawaka dan Bambang Kandhihawa. Pertengkaran tak dapat
dihindarkan tetapi dengan mudah Prabu Gathotkaca dikalahkan dan
dianggapnya sebagai anak mereka serta disuruhnya untuk menyertai
perjalanannya.
Di tengah hutan, sukma Arya Kumbakarna
menanti datangnya satria utama, sebagaimana perintah Begawan
Kesawasidhi. Tidak lama kemudian Arya Sena ( Wrekudara ) lewat. Arya
Kumbakarna mendekap kakinya dan meminta ijin untuk menyatu dengan Arya
Wrekudara, tetapi permintaan itu ditolaknya sehingga terjadilah
pertempuran. Pada waktu Arya Wrekudara lengah maka sukma Arya Kumbakarna
merasuk ke dalam betis kirinya.
Di padepokan Kutharunggu, Begawan
Kesawasidhi menerima kedatangan Arjuna bersama para punakawan. Setelah
Arjuna dipandangnya pantas menerima wahyu, maka Begawan Kesawasidhi
kemudian memberinya wejangan tentang makna Wahyu Makutharama, yang
intinya adalah Asthabrata, yang diambilnya dari delapan sifat anasir (
unsur ) alam semesta, yaitu: kisma ( tanah ), tirta ( air ), samirana (
angin ), samodra ( samudra/lautan ), candra ( bulan ), baskara (
matahari ), dahana ( api ), dan kartika ( bintang ) atau disebut juga
gunung. Arjuna kemudian disuruh untuk mencari dan menyerahkan senjata
kunta Wijayadanu yang dirampas Begawan Anoman kepada Prabu Karna.
Arjuna menemukan Prabu Karna di tengah
hutan, senjata Kunta Wijayadanu diserahkan. Akan tetapi Prabu Karna
bermaksud meminta Wahyu Makutharama dari Arjuna. Arjuna menjelaskan
bahwa Wahyu Makutharama tidak berujud dan tidak berwarna. Prabu Karna
memaksakan kehendaknya sehingga terjadilah pertempuran tetapi dapat
dikalahkan oleh Arjuna. Sepeninggalnya Prabu Karna, Arya Sena (
Wrekudara ) datang. Arya Wrekudara mengatakan bahwa kedatangannya
bersama Arjuna adalah untuk mencari Prabu Kresna, kakaknya.
Bambang Sintawaka, Bambang Kandhihawa,
dan prabu Gathotkaca ke pertapaan Kutharunggu. Bambang Sintawaka
bermaksud meminta Arjuna, yang dianggap sebagai buruannya tetapi Begawan
Kesawasidhi melindunginya sehingga pertempuran tak terhindarkan.
Begawan Kesawasidhi bertempur melawan Bambang Sintawaka. Begawan
Kesawasidhi akhirnya menjelma ( badar ) menjadi Prabu Kresna dan Bambang
Sintawaka menjadi Dewi Wara Subadra. Dengan petunjuk Prabu Kresna
Arjuna dapat memaksa Bambang Kandhihawa untuk menjelma kembali menjadi
Dewi Wara Srikandi. Arya Wrekudara dan Prabu Gathotkaca pun akhirnya
juga menghentikan pertempurannya. Prabu Kresna menjelaskan bahwa
kepergiannya dari Dwarawati adalah untuk mengemban perintah Hyang Widi
untuk menurunkan Wahyu Makutharama, yang akhirnya diperoleh oleh Arjuna.
Kepada Wrekudara, Prabu Kresna menjelaskan bahwa Wrekudara mendapatkan
tambahan kekuatan dari Arya Kumbakarna. Prabu Kresna kemudian mengajak
saudara-saudaranya untuk kembali ke Ngamarta.
Di Ngastina, Prabu Duryudana menanti
kedatangan Prabu Karna. Patih Arya Sangkuni kemudian datang dan
melaporkan kegagalannya mencari wahyu. Prabu Karna kemudian datang dan
melaporkan bahwa Arjuna telah mendapatkan Wahyu Makutharama. Prabu
Duryudana kemudian memerintahkan Patih Arya Sangkuni untuk menyiapkan
pasukannya menyerang Ngamarta.
Di kerajaan Ngamarta, prabu Yudhistira,
Nakula, dan Sadewa menerima kedatangan Prabu Kresna, Arya Wrekudara,
Arjuna, dan Gathotkaca. Prabu Kresna menerangkan bahwa kepergiannya dari
kerajaan Dwarawati adalah mengemban parintah Hyang Wisesa untuk
menurunkan Wahyu Makutharama. Pada saat itulah Patih Andaka Semeru
datang menghadap untuk melaporkan bahwa Prabu Duryudana bersama pasukan
Kurawa menyerang. Prabu Kresna memerintahkan Arya Wrekudara, Arjuna, dan
Gathotkaca untuk menghadapi serangan tersebut. Arya Wrekudara bertempur
melawan Prabu Duryudana, Arjuna bertempur melawan Prabu Karna,sedangkan
Prabu Gathotkaca mengamuk menyerang pasukan Korawa. Prabu Kresna
kemudian menciptakan angin menempuh pasukan Korawa hingga keluar dari
Ngamarta. Prabu Kresna bersaudar kemudian menghadap Prabu Yudhistira
untuk berpesta merayakan keberhasilan mereka.
c. KANDUNGAN FILOSOFIS PAKEM PEDHALANGAN LAMPAHAN MAKUTHARAMA
1. Seorang raja atau pemimpin perlu
memiliki pegangan, pedoman, yang dapat dijadikan landasan bagi tata
pemerintahannya, agar berbagai kebijakan yang diambil, ditetapkan atau
diputuskan dapat adil, arif dan bijaksana, tidak menyimpang dari dharma,
2. Apabila seorang raja ( pemimpin )
ingin melangsungkan kedudukan atau kekuasaannya sampai pada anak
keturunannya, maka ia perlu memiliki wahyu ( anugerah Illahi ), yang
dapat memberinya tambahan kekuatan serta kewibawaan di dalam
menyelenggarakan tata pemerintahannya.
3. Adapun untuk memperoleh wahyu, seorang
raja ( pemimpin ) atau pun siapa saja harus memintanya kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa ( dewa ), dengan berlandaskan pada: hati yang bersih,
kerendahan hati ( tidak sombong dan membanggakan kedudukan ), memiliki
tekad dan kemauan yang keras, mau berprihatin ( bertapa-brata ), serta
mau meninggalkan untuk sementara hal-hal yang bersifat keduniawian. Di
dalam mencari wahyu, perlu dilakukan sendiri, tidak diwakilkan kepada
orang lain ( seperti Prabu Duryudana untuk memperolah Wahyu Makutharama )
mewakilkan kepada Prabu Karna sehingga gagal ). hal ini penting sebab
wahyu tidak memilih untuk bertempat ( berdiam ) kepada seseorang yang
memiliki pangkat, kedudukan/jabatan, atau pun kekayaan.
4. Di dalam mencari wahyu, seorang raja (
pemimpin ) perlu membersihkan hati dan mencucikan jiwanya dengan
menanggalkan serta meninggalkan berbagai nafsu yang melekat di dalam
jiwanay, misalnya :
a. Nafsu atau keinginan untuk makan yang
enak, bersetubuh, yang dapat membuatnya panjang umur dan badan sentausa,
yang lambangnya pada diri Lodra.
b. Nafsu atau keinginan untuk berpakaian
atau memperindah diri ( bersolek ), mencintai keindahan, suka dan
gembira, yang dilambangkan pada diri Sukarda.
c. Nafsu atau keinginan untuk berolah kanuragan dan kesaktian, pemberani, tatag tangguh, yang dilambangkan pada diri angkara.
d. Nafsu atau keinginan untuk memiliki
perasan belas kasihan, sedih dan sengsara, berhati suci, hemat yang
dilambangkan pada diri Nuraga.
Dengan menanggalkan dan meninggalkan ke
empat macam nafsu, yang dapat dijajarkan dengan Luamah, Amarah, Supiah,
dan Mutmainah, seseorang akan berpeluang untuk mendapatkan penerangan
Illahi ( wahyu ). Hal ini dapat dilihat pada diri Begawan Wibisana,
setelah ia mengeluarkan, menanggalkan ke empat nafsunya itu, maka ia
mendapatkan penerangan Illahi ( dewa ) sehingga ia dapat mencari
penjelmaan Sri Bathara Ramawijaya, yang berdiam dan menyatu dalam diri
Begawan Kesawasidhi ( Prabu Kresna ). Demikian pula halnya Arjuna,
setelah berhasil mengatasi gangguan ke empat perwujutan nafsu Begawan
Wibisama, yaitu : Lodra, Sukarda, Angkara, dan Nuraga ) maka ia pun
akhirnya berhasil mencari gunung Khuntarunggu dan mendapatkan wejangan
dan uraian tentang makna Wahyu Makutharama dari Begawan Kesawasidhi (
Prabu Kresna ).
5. Wahyu Makutharama adalah ilmu pegangan
dan pedoman bagi Sri Bathara Ramawijaya dalam menyelenggarakan tata
pemerintahan di kerajaan Pancawati ( Pancawatidhendha ). Pada dasarnya
Wahyu Makutharama berintikan Asthabrata ( Hastabrata ), yaitu : delapan
laku ( watak ) dewa atau delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta,
yang harus dipakai oleh seorang raja ( pemimpin ). Adapun sifat ke
delapan anasir ( unsur ) alam semesta dan penerapannya itu dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Kisma ( tanah/ bumi ):
bersifat selalu memperlihatkan kemurahan
dengan memberi dana. Segala tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang dimakan
oleh manusia dan segala yang hidup, tidak lain karena disebabkan oleh
buah yang dihasilkan dari tanah. Meskipun tanah dianiaya oleh manusia
dengan cara dicangkuli, digali, tetapi justru tanah memperlihatkan
kemurahannya. Beraneka macam harta benda, misalkan emas, permata,
diberikan kepada manusia yang menganiaya tanah.
Demikianlah seorang raja ( pemimpin )
hendaklah memiliki sifat tanah, yaitu : selalu bermurah hati kepada
siapapun yang meminta belas kasihan raja. Bahkan andaikata hati raja (
pemimpin ) disakiti hendaknya dibalasnya dengan dharma.
b. Tirta ( air ):
bersifat rendah hati, tidak mau
unggul-mengungguli, tidak merendahkan sebab air itu bersifat merata dan
mengalir ke tempat yang rendah, tetapi air memiliki faedah yang besar,
yaitu mendinginkan dan menyembuhkan orang yang sakti. Demikianlah
seorang raja ( pemimpin ) hendaknya memiliki sifat air, tidak
merendahkan kemampuan dan kepandaian orang lain, serta harus selalu mau
turun ke bawah untuk melihat sendiri keadaan rakyatnya.
c. Samirana ( angin ): bersifat rajin dan
teliti, serta dapat menyusup ke segala tempat. Demikianlah seorang raja
( pemimpin ) harus selalu meneliti di mana pun ia berada. Di dalam
meneliti harus secara seksama sehingga rakyatnya dapat diketahui, baik
yang kotor atau pun yang sakti.
d. Samodra ( samudra/lautan ) : bersifat
luas tanpa batas. Segala benda dan air sungai yang tak terkira, yang
mengalir ke dalamnya, tak membuat samudra ( lautan ) penuh dan meluap.
Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus berhati luas dan sabar. Raja
( pemimpin ) harus dapat menampung ( momot ) aspirasi rakyatnya, baik
dalam keadaan suka ataupun duka, kesemuanya itu dihadapinya dengan raup
wajah yang cerah, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila raja ( pemimpin )
merasa sakit hati karena rakyatnya maka ia segera dapat meredamnya.
e. Candra ( bulan ) : bersifat menerangi
dan memberikan kesejukan ke seluruh dunia. Demikianlah seorang raja (
pemimpin ) harus selalu mempelajari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan
kepandaiannya. Ilmu pengetahuan dan kepandaian yang diperoleh raja (
pemimpin ) itu hendaknya kemudian diajarkan sebagai penerang bagi
rakyatnya, dengan tidak memandang apakah rakyatnya itu tinggal di dalam
kota, di desa, atau bahkan di lereng gunung, tanpa memandang apakah
rakyatnya itu berpangkat atau tidak. pendek kata semuanya diberi
pelajaran.
f. Baskara ( matahari ): bersifat selalu
memberi daya kekuatan kepada semua yang tergelas ( terbentang ) di
dunia. Samudra/lautan dapat menguap menjadi awan, sampai akhirnya
menjadikan hujan, semua itu tidak lain karena daya kekuatan matahari.
Bumi berkembang untuk menumbukan berbagai tumbuh-tumbuhan, hal itu pun
tidak lain karena daya sinar matahari. Dalam menyinari samudra/lautan
maupun tanah ( bumi ), matahari melakukannya dengan sabar,
perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, seperti halnya perjalanan matahari
dari ufuk timur ke ufuk barat. Demikianlah seorang raja ( pemimpin )
harus memiliki sifat seperti matahari, ia harus selalu memberikan daya
kekuatannya kepada rakyatnya. Para nahkoda, petani, dan para pekerja
yang kekurangan semuanya harus mendapat limpahan kasih raja sebagai
modal kerja bagi mereka. Meskipun di kelak kemudian hari mereka harus
mengembalikan modal kerja tersebut, tetapi raja ( pemimpin ) harus dapat
bersabar hati ( tidak tergesa-gesa menarik modal kerja tersebut ),
melainkan menanti setelah mereka memperoleh hasil dari usahanya.
g. Dahana ( api ) : bersifat
menyelesaikan. Tidak ada satu pun yang tidak hancur oleh api.
Demikianlah seorang raja ( pemimpin ) harus memiliki sifat api. Dalam
menerapkan pengadilan bagi rakyatnya harus dapat bertindak adil. Segala
perkara yang diserahkan kepada raja ( pemimpin ) harus selesai, sempurna
dengan adil bijaksana, tidak ada yang diuntungkan atau dirugikan.
h. Kartika ( bintang ) atau pun disebut
juga gunung: bersifat teguh tegar ( sentausa ). Meskipun gunung di
terjang oleh angin prahara, tetapi bayu bajra tidak dapat menggoyahkan
gunung, bahkan membelok arahnya ke kanan atau ke kiri, karena kalah oleh
perbawa ( kewibawaan ) dan kekuatan gunung. Demikianlah seorang raja (
pemimpin ) harus memiliki sifat bintang atau pun gunung, sehingga segala
hal yang diperintahkan harus tetap dijalankan, tidak boleh berubah.
6. Ajaran Astabrata ( Hastabrata ) dalam
Wahyu Makutharama, kiranya tidak hanya diperuntukkan untuk raja atau
penguasa ( pemimpin ) agar dijadikan pegangan, pedoman dalam
,mengendalikan tata pemerintahan, tetapi ajaran di dalamnya tersebut
dapat diambil oleh manusia biasa untuk meningkatkan kualitas batin dan
jiwanya dalam usahanya menyempurnakan diri. Manusia yang mampu mencerna
dan meresapi, serta menerapkannya inti astabrata secara sungguh-sungguh,
niscaya akan menjadi manusia pendeta yang dalam fikiran, tutur kata,
dan perbuatannya dapat bersikap arif bijaksana. Pancaran dari dalam
dirinya terasa menyejukkan, meneduhkan, dan menenangkan bagi orang lain
di dekatnya, terlebih lagi pada keluarga dan kerabatnya.
7. Sumber ajaran Astabrata mengalami
pergeseran, kalau semula yang diambil sebagai sumbernya adalah delapan
watak ( laku ) dewa, yaitu : Indra, Bayu, Agni, Surya, Yama, Anila,
Kuwera, dan Baruna, tetapi dalam perkembangannya kemudian mengambil
delapan sifat anasir ( unsur ) alam semesta ( filsafat alam ), yaitu :
kisma ( tanah/bumi ), tirta ( air ), samirana ( angin ), samodra (
samudra/lautan ), candra ( bulan ), baskara ( matahari ) dahana ( api ),
dan kartika ( bintang ) yang juga disebut sifat gunung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar