I. MUKADIMAH
Manusia adalah hamba Allah (abdullah) dan sekaligus pemimpin
(khalifatullah filardh). Sebagai hamba, kewajibanya adalah beribadah,
mengabdi kepada Allah SWT, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi
segala laranganNya. Sebagai khalifah, tugasnya adalah meneruskan
risalah kenabian, yakni mengelola bumi dan seisinya. Keduanya terkait,
tidak terpisah, dan saling menunjang. Mencapai salah satunya, dengan
mengabaikan yang lain, adalah kemustahilan. Keduanya juga terikat oleh
konteks kesejarahan yang senantiasa bergeser. Inilah amanah suci setiap
insan.
Dalam Al Qur’an ditegaskan, makna manusia sebagai khalifah memiliki
dimensi sosial (horizontal), yakni mengenal alam (QS 2:31),
memikirkannya (QS 2: 164) dan memanfaatkan alam dan isinya demi kebaikan
dan ketinggian derajat manusia sendiri (QS 11:61). Sedangkan fungsi
manusia sebagai hamba Allah memiliki dimensi ilahiah (vertical), yaitu
mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan ucapan di hadapan Allah SWT.
Risalah ini sudah dimulai sejak dahulu kala, sejak nabi Muhammad saw
memperkenalkan perjuangan suci yang mengubah peradaban gelap menuju
peradaban yang tercerahkan. Tugas suci yang mulia ini telah dilaksanakan
para pejuang dan para leluhur kita, yang menjawab tantangan zamannya,
sesuai dengan dinamika zamannya. Sekarang, setelah sekian lama abad
risalah tersebut berjalan, manusia dihadapkan oleh tantangan baru. Zaman
telah bergeser. Seiring dengan itu juga terjadi pergeseran tantangan
zaman. Tugas untuk menjawab tantangan ini jelas bukan tanggung jawab
generasi terdahulu, melainkan tugas generasi sekarang.
Tantangan tersebut berada dalam tingkatan internasional, nasional, dan
lokal. Tantangan tersebut mencakup ranah keagamaan, politik, ekonomi,
sosial, budaya, hingga pendidikan. Perkembangan sosial yang pesat dalam
berbagai dataran tersebut tidak identik dengan naiknya derajat
peradaban manusia. Sebaliknya, berbagai ketidakadilan sosial menyelimuti
kehidupan kita. Karenanya, perjuangan keislaman dalam konteks
kebangsaan Indonesia senantiasa bergulir setiap waktu, tidak pernah
usai. Saat ini, tantangan itu begitu nyata, berkesinambungan dan meluas.
Sebagai generasi terpelajar yang mewarisi ruh perjuangan panjang di
negeri ini, IPNU-IPPNU terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi
tanah air tercinta. Bagi IPNU-IPPNU, hal ini adalah tugas suci dan
kehormatan yang diamanahkan oleh Allah SWT.
Cita-cita perjuangan dan tantangan sosial tersebut mendorong IPNU-IPPNU
untuk merumuskan konsepsi ideologis (pandangan hidup yang diyakininya)
berupa Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU sebagai landasan berfikir,
analisis, bertindak, berperilaku, dan berorganisasi. Prinsip Perjuangan
IPNU-IPPNU adalah perwujudan dari tugas profetik (kenabian) dalam
konteks IPNU-IPPNU.
II. LANDASAN HISTORIS
1. Kondisi IPNU-IPPNU Fase Pendirian dan Dinamika Perubahan
IPNU-IPPNU yang lahir pada tanggal 24 Februari 1954 M, bertepatan dengan
20 Jumadil Akhir 1373 H, hingga menjelang kongres XI tahun 1988
mempunyai kepanjangan “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama". Sesuai dengan
namanya, maka dalam rentang waktu tersebut, pembinaan IPNU-IPPNU tertuju
hanya pada pelajar-pelajar NU yang masih muda dan duduk di bangku
sekolah. Basis IPNU-IPPNU berada di lingkungan sekolah milik NU.
Perubahan zaman, situasi, dan kondisi, telah mempengaruhi perkembangan
organisasi. Hal ini menuntut para pengurus IPNU-IPPNU untuk tanggap dan
kritis terhadap perkembangan tersebut. Dari sinilah Kongress X
IPNU-IPPNU akhirnya berhasil menetapkan Deklarasi Jombang tentang
perubahan nama, sehingga menjadi “Ikatan Putra Nahdlatul Ulama”. Dengan
perubahan nama tersebut, maka perubahan dalam berbagai sektor pun tidak
dapat dielakkan. Pembinaan IPNU-IPPNU tidak lagi hanya terbatas pada
warga NU yang berstatus pelajar, melainkan mencakup semua putra NU.
2. Kondisi IPNU-IPPNU Sebelum Khittah
IPNU-IPPNU merupakan ujung tombak kaderisasi Nahdlatul Ulama. Namun
kenyataan tak selalu sesuai harapan. Keperkasaan IPNU-IPPNU sebagai
kader pelajar NU dari berbagai disiplin ilmu pada akhirnya tidak dapat
dipertahankan, sehingga berbagai program yang telah digariskan oleh
garis perjuangan dan strategi organisasi gagal diterapkan secara tuntas.
Hal ini terjadi karena berbagai persoalan mendasar, sehingga
kader-kader NU yang sangat besar jumlahnya harus gugur perlahan tanpa
sempat berkembang dan mewujudkan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu
akar dari kondisi tersebut, selain kondisi dari dalam tubuh IPNU-IPPNU
yang belum memiliki sistem yang kuat, terkait erat dengan organisasi
induknya NU, yang pada saat itu terbawa arus politik. Arus politik yang
begitu besar menyebabkan perhatian dan penguatan terhadap umat menjadi
melemah dan terbengkalai. Situasi inilah yang membuat iklim tidak sehat
bagi organisasi, sehingga banyak yang jera terhadapnya. Pada sisi lain,
tekanan politik terhadap NU memaksa kader IPNU-IPPNU harus memakai baju
dan simbol lain dalam pergaulannya di masyarakat.
3. Kondisi IPNU-IPPNU Setelah Khittah
Perkembangan IPNU-IPPNU pasca-Khittah NU 1926 dan Kongres Jombang sangat
menggembirakan. Khittah NU telah menciptakan iklim yang mendukung bagi
pengembangan organisasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini ditandai
dengan semaraknya kegiatan NU dan badan-badan otonomnya, termasuk
IPNU-IPPNU. Usaha memperteguh organisasi, pengetahuan, dan pandangan
hidup, dilakukan terus menerus untuk meningkatkan mutu organisasi.
Sebagai badan otonom NU, IPNU-IPPNU aktif melakukan kegiatan-kegiatan
antara lain penataan kembali perangkat-perangkat yang menunjang
organisasi, kaderisasi, dan pengembangan rintisan kerja sama dengan
berbagai pihak. Namun demikian, disadari hal-hal tersebut belum tercapai
dengan sempurna.
4. Kondisi IPNU-IPPNU era Reformasi
Di era reformasi, IPNU-IPPNU dituntut melangkah lebih cepat di tengah
arus perubahan yang tidak menentu, di tengah iklim pragmatisme sesaat
dalam berpolitik, dan kebebasan yang tak terkendali. Pada era ini muncul
kesadaran bersama untuk mengembalikan IPNU-IPPNU pada garis
kelahirannya, yaitu kembali ke basis pelajar yang telah ditinggalkan.
Kesadaran ini diperkuat dengan munculnya Deklarasi Makassar pada
kongres IPNU-IPPNU XIII di Makassar.
Pilihan ini mendorong IPNU-IPPNU untuk kembali pada tujuannya semula.
Sebab disadari bahwa ternyata selama ini IPNU-IPPNU belum banyak
memberikan kontribusi bagi kader, masyarakat, dan negara. Disadari pula
bahwa pelajar (siswa dan santri), sebagai kader yang memiliki kekuatan
untuk melakukan perubahan, selama ini belum mendapat perhatian dan
pendampingan pendampingan yang optimal. Kembali ke basis (sekolah dan
pesantren) menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda.
Landasan kesejarahan di atas menjadi titik pijak yang sangat penting
bagi IPNU-IPPNU untuk melakukan kerja-kerja kulturalnya. Semakin banyak
tantangan yang dihadapi mestilah semakin matang bangunan paradigma
organisasinya. Berdasarkan lanskap historis di atas dan kebutuhan
penguatan ideologi dan paradigma gerakan IPNU-IPPNU, maka dirasa
mendesak adanya suatu rumusan Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU yang menjadi
pijakan paradigmatik IPNU-IPPNU.
II. LANDASAN BERFIKIR
Sebagaimana ditetapkan dalam khittah 1926, Aswaja (Ahlussunnah wal
jamaah) adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak bagi warga
Nahdliyin. Sikap dasar itu yang menjadi watak IPNU-IPPNU, dengan watak
keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang
matang.
a. Cara Berfikir.
Cara berfikir menurut IPNU-IPPNU sebagai manifestasi ahlussunah wal
jama’ah adalah cara berfikir teratur dan runtut dengan memadukan antara
dalil naqli (yang berdasar al-Qur’an dan Hadits) dengan dalil aqli (yang
berbasis pada akal budi) dan dalil waqi’i (yang berbasis pengalaman).
Karena itu, di sini IPNU-IPPNU menolak cara berpikir yang berlandaskan
pada akal budi semata, sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir
bebas (liberal tingkers) dan kebenaran mutlak ilmu pengetahuan dan
pengalaman sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir materialistis
(paham kebendaan). Demikian juga IPNU-IPPNU menolak pemahaman zahir
(lahir) dan kelompok tekstual (literal), karena tidak memungkinkan
memahami agama dan kenyataan sosial secara mendalam.
b. Cara Bersikap
IPNU-IPPNU memandang dunia sebagai kenyataan yang beragam. Karena itu
keberagaman diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni
menjaga dan mempertahankan kemajemukan tersebut agar harmonis (selaras),
saling mengenal (lita’arofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap
moderat (selalu mengambil jalan tengah) dan menghargai perbedaan menjadi
semangat utama dalam mengelola kemajemukan tersebut. Dengan demikian
IPNU-IPPNU juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau
keberagaman budaya tersebut. Pluralitas, dalam pandangan IPNU-IPPNU
harus diterima sebagai kenyataan sejarah.
c. Cara Bertindak
Dalam bertindak, Aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi
Aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan
kehendak. Karena itu dalam bertindak, IPNU-IPPNU tidak bersikap menerima
begitu saja dan menyerah kepada nasib dalam menghadapi kehendak Allah,
tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah dengan istilah kasab
(usaha). Namun demikian, tidak harus berarti bersifat antroposentris
(mendewakan manusia), bahwa manusia bebas berkehendak. Tindakan manusia
tidak perlu di batasi dengan ketat, karena akan dibatasi oleh alam, oleh
sejarah. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan
demikian IPNU-IPPNU tidak memilih menjadi sekuler, melainkan sebuah
proses pergerakan iman yang mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan.
III. LANDASAN BERSIKAP
Semua kader IPNU-IPPNU dalam menjalankan kegiatan pribadi dan
berorganisasi harus tetap memegang teguh nilai-nilai yang diusung dari
norma dasar keagamaan Islam ala ahlussunnah wal jama’ah dan norma yang
bersumber dari masyarakat. Landasan nilai ini diharapkan dapat membentuk
watak diri seorang kader IPNU-IPPNU.
Nilai-nilai tersebut adalah:
1. Diniyyah/Keagamaan
a. Tauhid (al-tauhid) merupakan keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT. sebagai sumber inspirasi berpikir dan bertindak.
b. Persaudaraan dan persatuan (al-ukhuwwah wa al-ittihad) dengan mengedepankan sikap mengasihi (welas asih) sesama makhluk.
c. Keluhuran moral (al-akhlaq al-karimah) dengan menjunjung tinggi
kebenaran dan kejujuran (al-shidqu). Bentuk kebenaran dan kejujuran
yang dipahami: (1) Al-shidqu il Allah. Sebagai pribadi yang beriman
selalu melandasi diri dengan perilaku benar dan jujur, karena setiap
tindakan senantiasa dilihat Sang Khalik; (2) Al-shidqu ila ummah.
Sebagai makhluk sosial dituntut memiliki kesalehan sosial, jujur dan
benar kepada masyarakat dengan senantiasa melakukan pencerahan terhadap
masyarakat; (3) Al-shidqu ila al-nafsi, jujur dan benar kepada diri
sendiri merupakan sikap perbaikan diri dengan semangat peningkatan
kualitas diri; (4) Amar ma'ruf nahy munkar. Sikap untuk selalu
menyerukan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran.
2. Keilmuan, Prestasi, dan Kepeloporan
a. Menunjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan semangat
peningkatan kualitas SDM IPNU-IPPNU dan menghargai para ahli dan sumber
pengetahuan secara proporsional.
b. Menunjunjung tinggi nilai-nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
c. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat.
3. Sosial Kemasyarakatan
a. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan semangat mendahulukan kepentingan bersama daripada
kepentingan pribadi.
b. Selalu siap mempelopori setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.
4. Keikhlasan dan Loyalitas
a. Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang.
b. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa, dan
negara dengan melakukan ikhtiar perjuangan di bawah naungan IPNU-IPPNU.
IV. LANDASAN BERORGANISASI
1. Ukhuwwah
Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kebersamaan, karena itu perlu diikat
dengan ukhuwah (persaudaraan) atau solidaritas (perasaan setia kawan)
yang kuat (al urwah al-wutsqo) sebagai perekat gerakan. Adapun gerakan
ukhuwah IPNU-IPPNU meliputi:
a. Ukhuwwah Nahdliyyah
Sebagai gerakan yang berbasis NU ukhuwah nahdliyah harus menjadi prinsip
utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk
sektarianisme, melainkan sebaliknya sebagai pengokoh ukhuwah yang lain,
sebab hanya kaum nahdiyin yang mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang
mendalam dan bercorak sufistik yang moderat dan selalu menghargai
perbedaan serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi, kepercayaan
dan agama yang ada.
Kader IPNU-IPPNU yang mengabaikan ukhuwah nahdiyah adalah sebuah
penyimpangan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah
pudar karena tanpa dasar dan sering dicurangi dan dibelokkan untuk
kepentingan pribadi. Ukhuwah nahdliyah berperan sebagai landasan ukhuwah
yang lain. Karena ukhuwah bukanlah tanggapan yang bersifat serta merta,
melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang utuh serta
matang yang secara terus menerus perlu dikuatkan.
b. Ukhuwwah Islamiyyah
Ukhuwah Islamiyah mempunyai ruang lingkup lebih luas yang melintasi
aliran dan madzhab dalam Islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus
dilandasi dengan kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa
landasan tersebut ukhuwah islamiyah sering diselewengkan oleh kelompok
tertentu untuk menguasai yang lain. Relasi semacam itu harus ditolak,
sehingga harus dikembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah
serta adil.
Ukhuwah Islamiyah dijalankan untuk kesejahteraan umat Islam serta tidak
diarahkan untuk menggangu ketentraman agama atau pihak yang lain. Dengan
ukhuwah Islamiyah yang adil itu umat Islam Indonesia dan seluruh dunia
bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi serta membela dari
gangguan kelompok lain yang membahayakan keberadaan iman, budaya dan
masyarakat Islam secara keseluruhan.
c. Ukhuwwah Wathaniyyah
Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka IPNU-IPPNU
berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah
(solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa ini tidak hanya
terdiri dari berbagai warna kulit, agama dan budaya, tetapi juga
mempunyai berbagai pandangan hidup.
IPNU-IPPNU, yang lahir dari akar budaya bangsa ini, tidak pernah
mengalami ketegangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab keislaman
IPNU-IPPNU adalah bentuk dari Islam Indonesia (Islam yang berkembang dan
melebur dengan tradisi dan budaya Indonesia); bukan Islam di Indonesia
(Islam yang baru datang dan tidak berakar dalam budaya Indonesia).
Karena itulah IPNU-IPPNU berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah
wathaniyah untuk menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya
ukhuwah wathaniyah ini keberadaan NU, umat Islam dan agama lain terjaga.
Bila seluruh bagian bangsa ini kuat, maka akan disegani bangsa lain dan
mampu menahan penjajahan –dalam bentuk apapun- dari bangsa lain. Dalam
kerangka kepentingan itulah IPNU-IPPNU selalu gigih menegakkan
nasionalisme sebagai upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat
bangsa Indonesia.
d. Ukhuwwah Basyariyyah
Walaupun NU memegang teguh prinsip ukhuwah nahdliyah, islamiyah dan
wathaniyah, namun NU tidak berpandangan dan berukhuwah sempit. NU tetap
menjunjung solidaritas kemanusiaan seluruh dunia, menolak pemerasan dan
penjajahan (imperialisme dan neoimperialisme) satu bangsa atas bangsa
lainnya karena hal itu mengingkari martabat kemanusiaan. Bagi
IPNU-IPPNU, penciptaan tata dunia yang adil tanpa penindasan dan
peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai
sarana penjajahan merupakan tindakan yang harus dicegah agar tidak
meruntuhkan martabat kemanusiaan.
Ukhuwah basyariyah memandang manusia sebagai manusia, tidak tersekat
oleh tembok agama, warna kulit atau pandangan hidup; semuanya ada dalam
satu persaudaraan dunia. Persaudaran ini tidak bersifat pasif (diam di
tempat), tetapi selalu giat membuat inisiatif (berikhtiar) dan
menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tata dunia baru
yang lebih adil,beradab dan terbebas dari penjajahan dalam bentuk
apapun.
2. Amanah
Dalam kehidupan yang serba bersifat duniawi (kebendaan), sikap amanah
mendapat tantangan besar yang harus terus dipertahankan. Sikap amanah
(saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun kejujuran, baik pada diri
sendiri maupun pihak lain. Sikap tidak jujur akan menodai prinsip
amanah, karena itu pelakunya harus dikenai sangsi organisasi secara
tegas. Amanah sebagai ruh gerakan harus terus dipertahankan, dibiasakan
dan diwariskan secara turun temurun dalam sikap dan perilaku
sehari-hari.
3. Ibadah (Pengabdian)
Berjuang dalam NU untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat dari
semangat pengabdian, baik mengabdi pada IPNU-IPPNU, umat, bangsa, dan
seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di IPNU-IPPNU bukan untuk
mencari penghasilan, pengaruh atau jabatan, melainkan merupakan ibadah
yang mulia. Dengan semangat pengabdian itu setiap kader akan gigih dan
ikhlas membangun dan memajukan IPNU-IPPNU. Tanpa semangat pengabdian,
IPNU-IPPNU hanya dijadikan tempat mencari kehidupan, menjadi batu
loncatan untuk memproleh kepentingan pribadi atau golongan.
Lemahnya organisasi dan ciutnya gerakan IPNU-IPPNU selama ini terjadi
karena pudarnya jiwa pengabdian para pengurusnya. Pengalaman tersebut
sudah semestinya dijadikan pijakan untuk membarui gerakan organisasi
dengan memperkokoh jiwa pengabdian para pengurus dan kadernya. Semangat
pengabdian itulah yang pada gilirannya akan membuat gerakan dan
kerja-kerja peradaban IPNU-IPPNU akan semakin dinamis dan nyata.
4. Asketik (Kesederhanaan)
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik
(bersikap zuhud/sederhana). Karena pada dasarnya sikap materialistik
(hubbu al-dunya) akan menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan
semangat pengabdian, karena dipenuhi pamrih duniawi. Maka, sikap zuhud
adalah suatu keharusan bagi aktivis IPNU-IPPNU. Sikap ini bukan berarti
anti duniawi atau anti kemajuan, akan tetapi menempuh hidup sederhana,
tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para salafus
sholihin. Dengan sikap asketik itu keutuhan dan kemurnian perjuangan
IPNU-IPPNU akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa
digunakan untuk menata bangsa ini.
5. Non-Kolaborasi
Landasan berorganisasi non-kolaborasi harus ditegaskan kembali,
mengingat dewasa ini banyak lembaga yang didukung oleh pemodal asing
yang menawarkan berbagai jasa dan dana yang tujuannya bukan untuk
memandirikan, melainkan untuk menciptakan ketergantungan dan pengaburan
terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan NU secara umum, melalui
campur tangan dan pemaksaan ide dan agenda mereka. Karena itu untuk
menjaga kemandirian, maka IPNU-IPPNU harus menolak untuk berkolaborasi
(bekerja sama) dengan kekuatan pemodal asing baik secara akademik,
politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader IPNU-IPPNU berkewajiban
membangun paradigma (kerangka) keilmuan sendiri, sistem politik dan
sistem ekonomi sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa nusantara
sendiri.
6. Komitmen Pada Korp
Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda organisasi,
maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp (himpunan)
organisasi. Karena itu seluruh anggota korp harus secara bulat menerima
keyakinan utama yang menjadi pandangan hidup dan seluruh prinsip
organisasi. Demikian juga pimpinan, tidak hanya cukup menerima ideologi
dan prinsip pergerakan semata, tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan
penggerak prinsip-prinsip tersebut.
Segala kebijakan pimpinan haruslah mencerminkan suara seluruh anggota
organisasi. Dengan demikian seluruh anggota korp harus tunduk dan setia
pada pimpinan. Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program,
pimpinan harus tegas memberi ganjaran dan sanksi pada anggota korp.
Sebaliknya, anggota juga harus berani bersikap terbuka dan tegas pada
pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi penyimpangan.
7. Kritik-Otokritik
Untuk menjaga keberlangsungan organisasi serta memperlancar jalannya
program, maka perlu adanya cara kerja organisasi. Untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya kemandekan atau bahkan penyimpangan, maka
dibutuhkan kontrol terhadap kinerja dalam bentuk kritik-otokritik
(saling koreksi dan introspeksi diri). Kritik-otokritik ini bukan
dilandasi semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat persaudaraan dan
rasa kasih sayang demi perbaikan dan kemajuan IPNU-IPPNU.
VI. JATI DIRI IPNU-IPPNU
1. Hakikat dan Fungsi IPNU-IPPNU
a. Hakikat
IPNU-IPPNU adalah wadah perjuangan pelajar NU untuk menyosialisasikan
komitmen nilai-nilai keislaman, kebangsaan, keilmuan, kekaderan, dan
keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan kemampuan yang
dimiliki sumber daya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata
demi tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Fungsi
IPNU-IPPNU berfungsi sebagai:
a. Wadah berhimpun Pelajar NU untuk mencetak kader akidah.
b. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader ilmu
c. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader organisasi.
Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran panggilan dan pembinaan (target
kelompok) IPNU-IPPNU adalah setiap pelajar bangsa (siswa dan santri)
yang syarat keanggotaannya sebagaimana diatur dalam PD/PRT.
2. Posisi IPNU-IPPNU
a. Intern (dalam lingkungan NU)
IPNU-IPPNU sebagai perangkat dan badan otonom NU, secara kelembagaan
memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom
lainnya, yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan NU, khususnya
yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing badan
yang berdiri sendiri itu hanya dapat dibedakan dengan melihat kelompok
yang menjadi sasaran dan bidang garapannya masing-masing.
b. Ekstern (di luar lingkungan NU)
IPNU-IPPNU adalah bagian integral dari generasi muda Indonesia yang
memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara
Republik Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan
cita-cita perjuangan NU serta cita-cita bangsa Indonesia.
3. Orientasi IPNU-IPPNU
Orientasi IPNU-IPPNU berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya
untuk senantiasa menempatkan gerakannya pada ranah keterpelajaran
dengan kaidah “belajar, berjuang, dan bertaqwa,” yang bercorak dasar
dengan wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan
keterpelajaran.
a. Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan ialah wawasan yang dijiwai oleh asas kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang mengakui keberagaman
masyarakat, budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan,
hakekat dan martabat manusia, yang memiliki tekad dan kepedulian
terhadap nasib bangsa dan negara berlandaskan prinsip keadilan,
persamaan, dan demokrasi.
b. Wawasan Keislaman
Wawasan keislaman adalah wawasan yang menempatkan ajaran agama Islam
sebagai sumber nilai dalam menunaikan segala tindakan dan kerja-kerja
peradaban. Ajaran Islam sebagai ajaran yang merahmati seluruh alam,
mempunyai sifat memperbaiki dan menyempurnakan seluruh nilai-nilai
kemanusiaan. Oleh karena itu, IPNU-IPPNU dalam bermasyarakat bersikap
tawashut dan i’tidal, menunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, bersikap membangun dan menghindari
sikap tatharruf (ekstrem, melaksanakan kehendak dengan menggunakan
kekuasaan dan kezaliman); tasamuh, toleran terhadap perbedaan pendapat,
baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan;
tawazun, seimbang dan menjalin hubungan antar manusia dan Tuhannya,
serta manusia dengan lingkungannya; amar ma’ruf nahy munkar, memiliki
kecenderungan untuk melaksanakan usaha perbaikan, serta mencegah
terjadinya kerusakan harkat kemanusiaan dan kerusakan lingkungan,
mandiri, bebas, terbuka, bertanggung jawab dalam berfikir, bersikap, dan
bertindak.
c. Wawasan Keilmuan
Wawasan keilmuan adalah wawasan yang menempatkan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader.
Sehingga ilmu pengetahuan memungkinkan anggota untuk mewujudkan dirinya
sebagai manusia seutuhnya dan tidak menjadi beban sosial lingkungan.
Dengan ilmu pengetahuan, akan memungkinan mencetak kader mandiri,
memiliki harga diri, dan kepercayaan diri sendiri dan dasar kesadaran
yang wajar akan kemampuan dirinya dalam masyarakat sebagai anggota
masyarakat yang berguna.
d. Wawasan Kekaderan
Wawasan kekaderan ialah wawasan yang menempatkan organisasi sebagai
wadah untuk membina anggota, agar menjadi kader–kader yang memiliki
komitmen terhadap ideologi dan cita–cita perjuangan organisasi,
bertanggungjawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi, juga
diharapkan dapat membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam ala ahlussunnah wal jamaah, memiliki wawasan kebangsaan
yang luas dan utuh, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan, serta
memiliki kemampuan teknis mengembangkan organisasi, kepemimpinan,
kemandirian, dan populis.
e. Wawasan Keterpelajaran
Wawasan keterpelajaran ialah wawasan yang menempatkan organisasi dan
anggota pada pemantapan diri sebagai center of excellence (pusat
keutamaan) pemberdayaan sumberdaya manusia terdidik yang berilmu,
berkeahlian, dan mempunyai pandangan ke depan, yang diikuti kejelasan
tugas sucinya, sekaligus rencana yang cermat dan pelaksanaannya yang
berpihak pada kebenaran.
Wawasan ini mensyaratkan watak organisasi dan anggotanya untuk
senantiasa memiliki hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus;
mencintai masyarakat belajar; mempertajam kemampuan mengurai dan
menyelidik persoalan; kemampuan menyelaraskan berbagai pemikiran agar
dapat membaca kenyataan yang sesungguhnya; terbuka menerima perubahan,
pandangan dan cara-cara baru; menjunjung tinggi nilai, norma, kaidah dan
tradisi serta sejarah keilmuan; dan berpandangan ke masa depan.