SEKRETARIAT ; Jalan Masjid Besar Al-Hasan kodepos 64395 Ngronggot Nganjuk, E-mail : pacipnuippnungronggot@yahoo.co.id Blog : pacipnuippnungronggot.blogspot.com
Jumat, 20 Juli 2012
PELANTIKAN PR IPNU IPPNU KELUTAN - NGRONGGOT 2012 - 2014
Senin Sore kemarin (16/07/2012), menjadi hari bersejarah bagi para pelajar serta pemuda di Desa Kelutan Kecamatan Ngronggot. Pasalnya setelah Beberapa Tahun lamanya desa Kelutan tidak memiliki kepengurusan IPNU-IPPNU, pada Sore itu para remaja Desa Kelutan secara resmi menghidupkan kembali IPNU-IPPNU dengan melaksanakan pelantikan kepengurusan baru periode 2012-2014 dalam suasana yang penuh kesederhanaan nan khidmat. Pelantikan tersebut bersamaan dengan acara rutin yang di laksanakan oleh PAC IPNU IPPNU kecamatan Ngronggot Sehingga acaranya di jadikan satu dengan Pengajian Rutin.
Dalam Acara tersebut hadir pula perwakilan ranting IPNU-IPPNU se-Kecamatan Ngronggot, Para sesepuh serta Pembina IPNU-IPPNU Desa Kelutan, dan tentunya Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU-IPPNU Kecamatan Ngronggot serta Pimpinan Cabang IPNU IPPNU Kabupaten Nganjuk sebagai pelantik sekaligus pembaiat. Fiqhi sebagai Ketua terlantik menyatakan bahwa dirinya merasa senang dan bangga sekali akhirnya bisa melaksanakan pelantikan Ranting Kelutan.
“Pelantikan ini adalah wujud dari perjuangan teman-teman remaja Kelutan, dan saya berharap akan terus menjaga kekompakannya. Selain itu kami juga mengharapkan bimbingan dari para sesepuh serta kakak-kakak kami dari IPNU-IPPNU Kecamatan Ngronggot Dan Kabupaten Nganjuk kepada kami sampai kapanpun” jelas Fiqhi dalam sambutannya.
Pelantikan yang diadakan di Kediaman Bapak Munir Dusun Sekaran Desa Kelutan tersebut merupakan pelantikan ranting yang pertama di periode Anak Cabang Ngronggot 2010-2012, serta menjadi ranting keenam yang dihidupkan kembali oleh pasangan Ahmad Khoirul Anam (selaku ketua PAC IPNU) dan Aniqotul Muhibbah (Selaku Ketua PAC IPPNU) pada periodenya tersebut.
“Alhamdulillah akhirnya Ranting Kelutan bisa berdiri juga, setelah setengah lebih dari 5 tahun lamanya tidak ada IPNU-IPPNU. Dengan demikian menjadi semangat baru bagi kepengurusan PAC.Ngronggot di masa mendatang. semoga ranting - ranting yang lain juga akan segera terbentuk kepengurusannya dan dapat menjalankan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama'ah di tengah - tengah masyarakat. AMin.
Selamat Belajar, Berjuang dan bertaqwa
jayalah PElajar NU Masa Depan
Masa Depan NU ada di tangan Kalian
Allahu Akbar.
PRINSIP PERJUANGAN IPNU-IPPNU Posted by PC. IPNU-IPPNU KABUPATEN BATANG 17:09,
I. MUKADIMAH
Manusia adalah hamba Allah (abdullah) dan sekaligus pemimpin (khalifatullah filardh). Sebagai hamba, kewajibanya adalah beribadah, mengabdi kepada Allah SWT, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Sebagai khalifah, tugasnya adalah meneruskan risalah kenabian, yakni mengelola bumi dan seisinya. Keduanya terkait, tidak terpisah, dan saling menunjang. Mencapai salah satunya, dengan mengabaikan yang lain, adalah kemustahilan. Keduanya juga terikat oleh konteks kesejarahan yang senantiasa bergeser. Inilah amanah suci setiap insan.
Dalam Al Qur’an ditegaskan, makna manusia sebagai khalifah memiliki dimensi sosial (horizontal), yakni mengenal alam (QS 2:31), memikirkannya (QS 2: 164) dan memanfaatkan alam dan isinya demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri (QS 11:61). Sedangkan fungsi manusia sebagai hamba Allah memiliki dimensi ilahiah (vertical), yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan ucapan di hadapan Allah SWT.
Risalah ini sudah dimulai sejak dahulu kala, sejak nabi Muhammad saw memperkenalkan perjuangan suci yang mengubah peradaban gelap menuju peradaban yang tercerahkan. Tugas suci yang mulia ini telah dilaksanakan para pejuang dan para leluhur kita, yang menjawab tantangan zamannya, sesuai dengan dinamika zamannya. Sekarang, setelah sekian lama abad risalah tersebut berjalan, manusia dihadapkan oleh tantangan baru. Zaman telah bergeser. Seiring dengan itu juga terjadi pergeseran tantangan zaman. Tugas untuk menjawab tantangan ini jelas bukan tanggung jawab generasi terdahulu, melainkan tugas generasi sekarang.
Tantangan tersebut berada dalam tingkatan internasional, nasional, dan lokal. Tantangan tersebut mencakup ranah keagamaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pendidikan. Perkembangan sosial yang pesat dalam berbagai dataran tersebut tidak identik dengan naiknya derajat peradaban manusia. Sebaliknya, berbagai ketidakadilan sosial menyelimuti kehidupan kita. Karenanya, perjuangan keislaman dalam konteks kebangsaan Indonesia senantiasa bergulir setiap waktu, tidak pernah usai. Saat ini, tantangan itu begitu nyata, berkesinambungan dan meluas. Sebagai generasi terpelajar yang mewarisi ruh perjuangan panjang di negeri ini, IPNU-IPPNU terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi tanah air tercinta. Bagi IPNU-IPPNU, hal ini adalah tugas suci dan kehormatan yang diamanahkan oleh Allah SWT.
Cita-cita perjuangan dan tantangan sosial tersebut mendorong IPNU-IPPNU untuk merumuskan konsepsi ideologis (pandangan hidup yang diyakininya) berupa Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU sebagai landasan berfikir, analisis, bertindak, berperilaku, dan berorganisasi. Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU adalah perwujudan dari tugas profetik (kenabian) dalam konteks IPNU-IPPNU.
II. LANDASAN HISTORIS
1. Kondisi IPNU-IPPNU Fase Pendirian dan Dinamika Perubahan
IPNU-IPPNU yang lahir pada tanggal 24 Februari 1954 M, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H, hingga menjelang kongres XI tahun 1988 mempunyai kepanjangan “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama". Sesuai dengan namanya, maka dalam rentang waktu tersebut, pembinaan IPNU-IPPNU tertuju hanya pada pelajar-pelajar NU yang masih muda dan duduk di bangku sekolah. Basis IPNU-IPPNU berada di lingkungan sekolah milik NU.
Perubahan zaman, situasi, dan kondisi, telah mempengaruhi perkembangan organisasi. Hal ini menuntut para pengurus IPNU-IPPNU untuk tanggap dan kritis terhadap perkembangan tersebut. Dari sinilah Kongress X IPNU-IPPNU akhirnya berhasil menetapkan Deklarasi Jombang tentang perubahan nama, sehingga menjadi “Ikatan Putra Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan nama tersebut, maka perubahan dalam berbagai sektor pun tidak dapat dielakkan. Pembinaan IPNU-IPPNU tidak lagi hanya terbatas pada warga NU yang berstatus pelajar, melainkan mencakup semua putra NU.
2. Kondisi IPNU-IPPNU Sebelum Khittah
IPNU-IPPNU merupakan ujung tombak kaderisasi Nahdlatul Ulama. Namun kenyataan tak selalu sesuai harapan. Keperkasaan IPNU-IPPNU sebagai kader pelajar NU dari berbagai disiplin ilmu pada akhirnya tidak dapat dipertahankan, sehingga berbagai program yang telah digariskan oleh garis perjuangan dan strategi organisasi gagal diterapkan secara tuntas. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan mendasar, sehingga kader-kader NU yang sangat besar jumlahnya harus gugur perlahan tanpa sempat berkembang dan mewujudkan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu akar dari kondisi tersebut, selain kondisi dari dalam tubuh IPNU-IPPNU yang belum memiliki sistem yang kuat, terkait erat dengan organisasi induknya NU, yang pada saat itu terbawa arus politik. Arus politik yang begitu besar menyebabkan perhatian dan penguatan terhadap umat menjadi melemah dan terbengkalai. Situasi inilah yang membuat iklim tidak sehat bagi organisasi, sehingga banyak yang jera terhadapnya. Pada sisi lain, tekanan politik terhadap NU memaksa kader IPNU-IPPNU harus memakai baju dan simbol lain dalam pergaulannya di masyarakat.
3. Kondisi IPNU-IPPNU Setelah Khittah
Perkembangan IPNU-IPPNU pasca-Khittah NU 1926 dan Kongres Jombang sangat menggembirakan. Khittah NU telah menciptakan iklim yang mendukung bagi pengembangan organisasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan NU dan badan-badan otonomnya, termasuk IPNU-IPPNU. Usaha memperteguh organisasi, pengetahuan, dan pandangan hidup, dilakukan terus menerus untuk meningkatkan mutu organisasi. Sebagai badan otonom NU, IPNU-IPPNU aktif melakukan kegiatan-kegiatan antara lain penataan kembali perangkat-perangkat yang menunjang organisasi, kaderisasi, dan pengembangan rintisan kerja sama dengan berbagai pihak. Namun demikian, disadari hal-hal tersebut belum tercapai dengan sempurna.
4. Kondisi IPNU-IPPNU era Reformasi
Di era reformasi, IPNU-IPPNU dituntut melangkah lebih cepat di tengah arus perubahan yang tidak menentu, di tengah iklim pragmatisme sesaat dalam berpolitik, dan kebebasan yang tak terkendali. Pada era ini muncul kesadaran bersama untuk mengembalikan IPNU-IPPNU pada garis kelahirannya, yaitu kembali ke basis pelajar yang telah ditinggalkan. Kesadaran ini diperkuat dengan munculnya Deklarasi Makassar pada kongres IPNU-IPPNU XIII di Makassar.
Pilihan ini mendorong IPNU-IPPNU untuk kembali pada tujuannya semula. Sebab disadari bahwa ternyata selama ini IPNU-IPPNU belum banyak memberikan kontribusi bagi kader, masyarakat, dan negara. Disadari pula bahwa pelajar (siswa dan santri), sebagai kader yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan, selama ini belum mendapat perhatian dan pendampingan pendampingan yang optimal. Kembali ke basis (sekolah dan pesantren) menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda.
Landasan kesejarahan di atas menjadi titik pijak yang sangat penting bagi IPNU-IPPNU untuk melakukan kerja-kerja kulturalnya. Semakin banyak tantangan yang dihadapi mestilah semakin matang bangunan paradigma organisasinya. Berdasarkan lanskap historis di atas dan kebutuhan penguatan ideologi dan paradigma gerakan IPNU-IPPNU, maka dirasa mendesak adanya suatu rumusan Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU yang menjadi pijakan paradigmatik IPNU-IPPNU.
II. LANDASAN BERFIKIR
Sebagaimana ditetapkan dalam khittah 1926, Aswaja (Ahlussunnah wal jamaah) adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak bagi warga Nahdliyin. Sikap dasar itu yang menjadi watak IPNU-IPPNU, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang matang.
a. Cara Berfikir.
Cara berfikir menurut IPNU-IPPNU sebagai manifestasi ahlussunah wal jama’ah adalah cara berfikir teratur dan runtut dengan memadukan antara dalil naqli (yang berdasar al-Qur’an dan Hadits) dengan dalil aqli (yang berbasis pada akal budi) dan dalil waqi’i (yang berbasis pengalaman). Karena itu, di sini IPNU-IPPNU menolak cara berpikir yang berlandaskan pada akal budi semata, sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir bebas (liberal tingkers) dan kebenaran mutlak ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir materialistis (paham kebendaan). Demikian juga IPNU-IPPNU menolak pemahaman zahir (lahir) dan kelompok tekstual (literal), karena tidak memungkinkan memahami agama dan kenyataan sosial secara mendalam.
b. Cara Bersikap
IPNU-IPPNU memandang dunia sebagai kenyataan yang beragam. Karena itu keberagaman diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan kemajemukan tersebut agar harmonis (selaras), saling mengenal (lita’arofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap moderat (selalu mengambil jalan tengah) dan menghargai perbedaan menjadi semangat utama dalam mengelola kemajemukan tersebut. Dengan demikian IPNU-IPPNU juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau keberagaman budaya tersebut. Pluralitas, dalam pandangan IPNU-IPPNU harus diterima sebagai kenyataan sejarah.
c. Cara Bertindak
Dalam bertindak, Aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi Aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak, IPNU-IPPNU tidak bersikap menerima begitu saja dan menyerah kepada nasib dalam menghadapi kehendak Allah, tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah dengan istilah kasab (usaha). Namun demikian, tidak harus berarti bersifat antroposentris (mendewakan manusia), bahwa manusia bebas berkehendak. Tindakan manusia tidak perlu di batasi dengan ketat, karena akan dibatasi oleh alam, oleh sejarah. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan demikian IPNU-IPPNU tidak memilih menjadi sekuler, melainkan sebuah proses pergerakan iman yang mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan.
III. LANDASAN BERSIKAP
Semua kader IPNU-IPPNU dalam menjalankan kegiatan pribadi dan berorganisasi harus tetap memegang teguh nilai-nilai yang diusung dari norma dasar keagamaan Islam ala ahlussunnah wal jama’ah dan norma yang bersumber dari masyarakat. Landasan nilai ini diharapkan dapat membentuk watak diri seorang kader IPNU-IPPNU.
Nilai-nilai tersebut adalah:
1. Diniyyah/Keagamaan
a. Tauhid (al-tauhid) merupakan keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT. sebagai sumber inspirasi berpikir dan bertindak.
b. Persaudaraan dan persatuan (al-ukhuwwah wa al-ittihad) dengan mengedepankan sikap mengasihi (welas asih) sesama makhluk.
c. Keluhuran moral (al-akhlaq al-karimah) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran (al-shidqu). Bentuk kebenaran dan kejujuran yang dipahami: (1) Al-shidqu il Allah. Sebagai pribadi yang beriman selalu melandasi diri dengan perilaku benar dan jujur, karena setiap tindakan senantiasa dilihat Sang Khalik; (2) Al-shidqu ila ummah. Sebagai makhluk sosial dituntut memiliki kesalehan sosial, jujur dan benar kepada masyarakat dengan senantiasa melakukan pencerahan terhadap masyarakat; (3) Al-shidqu ila al-nafsi, jujur dan benar kepada diri sendiri merupakan sikap perbaikan diri dengan semangat peningkatan kualitas diri; (4) Amar ma'ruf nahy munkar. Sikap untuk selalu menyerukan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran.
2. Keilmuan, Prestasi, dan Kepeloporan
a. Menunjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan semangat peningkatan kualitas SDM IPNU-IPPNU dan menghargai para ahli dan sumber pengetahuan secara proporsional.
b. Menunjunjung tinggi nilai-nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
c. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat.
3. Sosial Kemasyarakatan
a. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
b. Selalu siap mempelopori setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.
4. Keikhlasan dan Loyalitas
a. Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang.
b. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa, dan negara dengan melakukan ikhtiar perjuangan di bawah naungan IPNU-IPPNU.
IV. LANDASAN BERORGANISASI
1. Ukhuwwah
Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kebersamaan, karena itu perlu diikat dengan ukhuwah (persaudaraan) atau solidaritas (perasaan setia kawan) yang kuat (al urwah al-wutsqo) sebagai perekat gerakan. Adapun gerakan ukhuwah IPNU-IPPNU meliputi:
a. Ukhuwwah Nahdliyyah
Sebagai gerakan yang berbasis NU ukhuwah nahdliyah harus menjadi prinsip utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk sektarianisme, melainkan sebaliknya sebagai pengokoh ukhuwah yang lain, sebab hanya kaum nahdiyin yang mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik yang moderat dan selalu menghargai perbedaan serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi, kepercayaan dan agama yang ada.
Kader IPNU-IPPNU yang mengabaikan ukhuwah nahdiyah adalah sebuah penyimpangan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah pudar karena tanpa dasar dan sering dicurangi dan dibelokkan untuk kepentingan pribadi. Ukhuwah nahdliyah berperan sebagai landasan ukhuwah yang lain. Karena ukhuwah bukanlah tanggapan yang bersifat serta merta, melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang utuh serta matang yang secara terus menerus perlu dikuatkan.
b. Ukhuwwah Islamiyyah
Ukhuwah Islamiyah mempunyai ruang lingkup lebih luas yang melintasi aliran dan madzhab dalam Islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi dengan kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa landasan tersebut ukhuwah islamiyah sering diselewengkan oleh kelompok tertentu untuk menguasai yang lain. Relasi semacam itu harus ditolak, sehingga harus dikembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah serta adil.
Ukhuwah Islamiyah dijalankan untuk kesejahteraan umat Islam serta tidak diarahkan untuk menggangu ketentraman agama atau pihak yang lain. Dengan ukhuwah Islamiyah yang adil itu umat Islam Indonesia dan seluruh dunia bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi serta membela dari gangguan kelompok lain yang membahayakan keberadaan iman, budaya dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
c. Ukhuwwah Wathaniyyah
Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka IPNU-IPPNU berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah (solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa ini tidak hanya terdiri dari berbagai warna kulit, agama dan budaya, tetapi juga mempunyai berbagai pandangan hidup.
IPNU-IPPNU, yang lahir dari akar budaya bangsa ini, tidak pernah mengalami ketegangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab keislaman IPNU-IPPNU adalah bentuk dari Islam Indonesia (Islam yang berkembang dan melebur dengan tradisi dan budaya Indonesia); bukan Islam di Indonesia (Islam yang baru datang dan tidak berakar dalam budaya Indonesia).
Karena itulah IPNU-IPPNU berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathaniyah untuk menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathaniyah ini keberadaan NU, umat Islam dan agama lain terjaga. Bila seluruh bagian bangsa ini kuat, maka akan disegani bangsa lain dan mampu menahan penjajahan –dalam bentuk apapun- dari bangsa lain. Dalam kerangka kepentingan itulah IPNU-IPPNU selalu gigih menegakkan nasionalisme sebagai upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat bangsa Indonesia.
d. Ukhuwwah Basyariyyah
Walaupun NU memegang teguh prinsip ukhuwah nahdliyah, islamiyah dan wathaniyah, namun NU tidak berpandangan dan berukhuwah sempit. NU tetap menjunjung solidaritas kemanusiaan seluruh dunia, menolak pemerasan dan penjajahan (imperialisme dan neoimperialisme) satu bangsa atas bangsa lainnya karena hal itu mengingkari martabat kemanusiaan. Bagi IPNU-IPPNU, penciptaan tata dunia yang adil tanpa penindasan dan peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai sarana penjajahan merupakan tindakan yang harus dicegah agar tidak meruntuhkan martabat kemanusiaan.
Ukhuwah basyariyah memandang manusia sebagai manusia, tidak tersekat oleh tembok agama, warna kulit atau pandangan hidup; semuanya ada dalam satu persaudaraan dunia. Persaudaran ini tidak bersifat pasif (diam di tempat), tetapi selalu giat membuat inisiatif (berikhtiar) dan menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tata dunia baru yang lebih adil,beradab dan terbebas dari penjajahan dalam bentuk apapun.
2. Amanah
Dalam kehidupan yang serba bersifat duniawi (kebendaan), sikap amanah mendapat tantangan besar yang harus terus dipertahankan. Sikap amanah (saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun kejujuran, baik pada diri sendiri maupun pihak lain. Sikap tidak jujur akan menodai prinsip amanah, karena itu pelakunya harus dikenai sangsi organisasi secara tegas. Amanah sebagai ruh gerakan harus terus dipertahankan, dibiasakan dan diwariskan secara turun temurun dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
3. Ibadah (Pengabdian)
Berjuang dalam NU untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat dari semangat pengabdian, baik mengabdi pada IPNU-IPPNU, umat, bangsa, dan seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di IPNU-IPPNU bukan untuk mencari penghasilan, pengaruh atau jabatan, melainkan merupakan ibadah yang mulia. Dengan semangat pengabdian itu setiap kader akan gigih dan ikhlas membangun dan memajukan IPNU-IPPNU. Tanpa semangat pengabdian, IPNU-IPPNU hanya dijadikan tempat mencari kehidupan, menjadi batu loncatan untuk memproleh kepentingan pribadi atau golongan.
Lemahnya organisasi dan ciutnya gerakan IPNU-IPPNU selama ini terjadi karena pudarnya jiwa pengabdian para pengurusnya. Pengalaman tersebut sudah semestinya dijadikan pijakan untuk membarui gerakan organisasi dengan memperkokoh jiwa pengabdian para pengurus dan kadernya. Semangat pengabdian itulah yang pada gilirannya akan membuat gerakan dan kerja-kerja peradaban IPNU-IPPNU akan semakin dinamis dan nyata.
4. Asketik (Kesederhanaan)
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik (bersikap zuhud/sederhana). Karena pada dasarnya sikap materialistik (hubbu al-dunya) akan menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan semangat pengabdian, karena dipenuhi pamrih duniawi. Maka, sikap zuhud adalah suatu keharusan bagi aktivis IPNU-IPPNU. Sikap ini bukan berarti anti duniawi atau anti kemajuan, akan tetapi menempuh hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para salafus sholihin. Dengan sikap asketik itu keutuhan dan kemurnian perjuangan IPNU-IPPNU akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa digunakan untuk menata bangsa ini.
5. Non-Kolaborasi
Landasan berorganisasi non-kolaborasi harus ditegaskan kembali, mengingat dewasa ini banyak lembaga yang didukung oleh pemodal asing yang menawarkan berbagai jasa dan dana yang tujuannya bukan untuk memandirikan, melainkan untuk menciptakan ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan NU secara umum, melalui campur tangan dan pemaksaan ide dan agenda mereka. Karena itu untuk menjaga kemandirian, maka IPNU-IPPNU harus menolak untuk berkolaborasi (bekerja sama) dengan kekuatan pemodal asing baik secara akademik, politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader IPNU-IPPNU berkewajiban membangun paradigma (kerangka) keilmuan sendiri, sistem politik dan sistem ekonomi sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa nusantara sendiri.
6. Komitmen Pada Korp
Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda organisasi, maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp (himpunan) organisasi. Karena itu seluruh anggota korp harus secara bulat menerima keyakinan utama yang menjadi pandangan hidup dan seluruh prinsip organisasi. Demikian juga pimpinan, tidak hanya cukup menerima ideologi dan prinsip pergerakan semata, tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan penggerak prinsip-prinsip tersebut.
Segala kebijakan pimpinan haruslah mencerminkan suara seluruh anggota organisasi. Dengan demikian seluruh anggota korp harus tunduk dan setia pada pimpinan. Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program, pimpinan harus tegas memberi ganjaran dan sanksi pada anggota korp. Sebaliknya, anggota juga harus berani bersikap terbuka dan tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi penyimpangan.
7. Kritik-Otokritik
Untuk menjaga keberlangsungan organisasi serta memperlancar jalannya program, maka perlu adanya cara kerja organisasi. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kemandekan atau bahkan penyimpangan, maka dibutuhkan kontrol terhadap kinerja dalam bentuk kritik-otokritik (saling koreksi dan introspeksi diri). Kritik-otokritik ini bukan dilandasi semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat persaudaraan dan rasa kasih sayang demi perbaikan dan kemajuan IPNU-IPPNU.
VI. JATI DIRI IPNU-IPPNU
1. Hakikat dan Fungsi IPNU-IPPNU
a. Hakikat
IPNU-IPPNU adalah wadah perjuangan pelajar NU untuk menyosialisasikan komitmen nilai-nilai keislaman, kebangsaan, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan kemampuan yang dimiliki sumber daya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Fungsi
IPNU-IPPNU berfungsi sebagai:
a. Wadah berhimpun Pelajar NU untuk mencetak kader akidah.
b. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader ilmu
c. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader organisasi.
Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran panggilan dan pembinaan (target kelompok) IPNU-IPPNU adalah setiap pelajar bangsa (siswa dan santri) yang syarat keanggotaannya sebagaimana diatur dalam PD/PRT.
2. Posisi IPNU-IPPNU
a. Intern (dalam lingkungan NU)
IPNU-IPPNU sebagai perangkat dan badan otonom NU, secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lainnya, yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing badan yang berdiri sendiri itu hanya dapat dibedakan dengan melihat kelompok yang menjadi sasaran dan bidang garapannya masing-masing.
b. Ekstern (di luar lingkungan NU)
IPNU-IPPNU adalah bagian integral dari generasi muda Indonesia yang memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuangan NU serta cita-cita bangsa Indonesia.
3. Orientasi IPNU-IPPNU
Orientasi IPNU-IPPNU berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan gerakannya pada ranah keterpelajaran dengan kaidah “belajar, berjuang, dan bertaqwa,” yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran.
a. Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan ialah wawasan yang dijiwai oleh asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang mengakui keberagaman masyarakat, budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, hakekat dan martabat manusia, yang memiliki tekad dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara berlandaskan prinsip keadilan, persamaan, dan demokrasi.
b. Wawasan Keislaman
Wawasan keislaman adalah wawasan yang menempatkan ajaran agama Islam sebagai sumber nilai dalam menunaikan segala tindakan dan kerja-kerja peradaban. Ajaran Islam sebagai ajaran yang merahmati seluruh alam, mempunyai sifat memperbaiki dan menyempurnakan seluruh nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, IPNU-IPPNU dalam bermasyarakat bersikap tawashut dan i’tidal, menunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bersikap membangun dan menghindari sikap tatharruf (ekstrem, melaksanakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kezaliman); tasamuh, toleran terhadap perbedaan pendapat, baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan; tawazun, seimbang dan menjalin hubungan antar manusia dan Tuhannya, serta manusia dengan lingkungannya; amar ma’ruf nahy munkar, memiliki kecenderungan untuk melaksanakan usaha perbaikan, serta mencegah terjadinya kerusakan harkat kemanusiaan dan kerusakan lingkungan, mandiri, bebas, terbuka, bertanggung jawab dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
c. Wawasan Keilmuan
Wawasan keilmuan adalah wawasan yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader. Sehingga ilmu pengetahuan memungkinkan anggota untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya dan tidak menjadi beban sosial lingkungan. Dengan ilmu pengetahuan, akan memungkinan mencetak kader mandiri, memiliki harga diri, dan kepercayaan diri sendiri dan dasar kesadaran yang wajar akan kemampuan dirinya dalam masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berguna.
d. Wawasan Kekaderan
Wawasan kekaderan ialah wawasan yang menempatkan organisasi sebagai wadah untuk membina anggota, agar menjadi kader–kader yang memiliki komitmen terhadap ideologi dan cita–cita perjuangan organisasi, bertanggungjawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi, juga diharapkan dapat membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam ala ahlussunnah wal jamaah, memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan utuh, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan, serta memiliki kemampuan teknis mengembangkan organisasi, kepemimpinan, kemandirian, dan populis.
e. Wawasan Keterpelajaran
Wawasan keterpelajaran ialah wawasan yang menempatkan organisasi dan anggota pada pemantapan diri sebagai center of excellence (pusat keutamaan) pemberdayaan sumberdaya manusia terdidik yang berilmu, berkeahlian, dan mempunyai pandangan ke depan, yang diikuti kejelasan tugas sucinya, sekaligus rencana yang cermat dan pelaksanaannya yang berpihak pada kebenaran.
Wawasan ini mensyaratkan watak organisasi dan anggotanya untuk senantiasa memiliki hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus; mencintai masyarakat belajar; mempertajam kemampuan mengurai dan menyelidik persoalan; kemampuan menyelaraskan berbagai pemikiran agar dapat membaca kenyataan yang sesungguhnya; terbuka menerima perubahan, pandangan dan cara-cara baru; menjunjung tinggi nilai, norma, kaidah dan tradisi serta sejarah keilmuan; dan berpandangan ke masa depan.
Syaikhona Kholil Penentu Berdirinya NU
Judul: Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama
Penulis: RKH Fuad Amin Imron
Pengantar: Dr KH Said Aqil Siradj, MA
Editor: Nico Ainul Yakin
Penerbit: Kahlista, Surabaya
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: 228 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan
Madura yang mayoritas penduduknya banyak orang mengatakan kehidupannya berada di bawah kemiskinan, berwatak keras, mata pencahariannya setiap hari sebagai petani, pedagang, dan mengadu nasib ke berbagai manca negara. Meskipun banyak orang yang cenderung mengartikan orang Madura dikenal mempunyai kepribadian kurang baik, identik dengan kekerasan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Orang Madura juga mayoritas penduduknya adalah orang yang taat beragama, ramah, halus santun, seperti orang Madura yang ada di Kabupaten Sumenep. Semangat dan etos kerja yang pantang menyerah dan istiqamahnya dalam meraih cita-cita, adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh Madura.
Pulau yang terdiri dari empat kabupaten, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep ini dikenal dengan tempat kediaman para raja dan kiai. Seperti Raja Sultan Abdurrahman (Asta Tinggi Sumenep), Raja Batu Ampar Pamekasan, dan salah satu kiai yang cukup fenomenal, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil ini, adalah keturunan dari para wali songo yakni, Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), dan bersambung hingga Rasulullah SAW. Maka tidak berlebihan jika banyak orang beranggapan bahwa, Syaikhona Kholil dikatakan seorang ulama dan gurunya para kiai se-Jawa dan Madura.
Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan (hal.17-177).
Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU). Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ke tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam buku biografi lengkap Syaikhona Kholil Bangkalan ini, juga menceritakan beberapa kisah karomah Syaikhona yang terkadang sulit dijangkau oleh akal manusia. Seperti dalam kesaksian Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu santri yang sekaligus menjadi khodim (pelayan) Syaikhona Kholil. Suatu ketika Kiai As’ad dipanggil oleh Syaikhona Kholil, diperintah untuk memberikan seutas tasbih dan bacaan asmaul husna “Ya Jabbar Ya Qohhar”, kepada Kiai Hasyim As’ari dan sekaligus memberikan uang 1 ringgit untuk bekal dalam perjalanan. Setelah memberikan uang sebagai bekal dalam perjalanan, tasbih pemberian Syaikhona Kholil akhirnya dikalungkannya kepada leher Kiai As’ad, lalu berangkatlah beliau ke Jombang. Dengan kekuasaan Allah, dalam perjalanan dari Bangkalan hingga sampai di Jombang uang pemberian Syaikhona Kholil tetap utuh. Kejadian ini menurut Kiai As’ad adalah bagian karamah yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.
Jika kita dicermati dengan seksama ternyata pendirian jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), melalui proses waktu yang panjang. Dan proses berdirinya NU ini, menurut penulis tidak lepas dari perjuangan dan peran “Tokoh Empat Serangkai” yakni Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Namun menurut penulis, penyebutan empat ulama tersebut bukan berarti menafikan peran penting ulama lainnya seperti, Kiai Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kiai Ridwan Surabaya, dan Kiai Bisri Sansuri Jombang.
Penulis dan editor kurang selektif dan teliti dalam mengoreksi buku ini, banyak kepenulisan yang salah ketik yang tentunya akan mengganggu kepada pembaca. Namun buku ini tetap menarik untuk kita baca dan kita miliki. Dengan membaca buku Syaikhona Kholil Bangkalan ini, pembaca akan di ajak untuk meneladani perjuangan Syaikhona Kholil dan para ulama lainnya ketika melakukan proses berdirinya NU. Mengingat besar perjuangan para tokoh NU, dengan harapan warga NU khususnya para elit-elit NU mampu mengembalikan NU kepada jati dirinya, yaitu sebagai pengayom umat, penjaga pesantren, dan pengawal tradisi. NU bukanlah kendaraan berpolitik praktis yang tujuannya hanya untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Wallahu a’lam
* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Penulis: RKH Fuad Amin Imron
Pengantar: Dr KH Said Aqil Siradj, MA
Editor: Nico Ainul Yakin
Penerbit: Kahlista, Surabaya
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: 228 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan
Madura yang mayoritas penduduknya banyak orang mengatakan kehidupannya berada di bawah kemiskinan, berwatak keras, mata pencahariannya setiap hari sebagai petani, pedagang, dan mengadu nasib ke berbagai manca negara. Meskipun banyak orang yang cenderung mengartikan orang Madura dikenal mempunyai kepribadian kurang baik, identik dengan kekerasan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Orang Madura juga mayoritas penduduknya adalah orang yang taat beragama, ramah, halus santun, seperti orang Madura yang ada di Kabupaten Sumenep. Semangat dan etos kerja yang pantang menyerah dan istiqamahnya dalam meraih cita-cita, adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh Madura.
Pulau yang terdiri dari empat kabupaten, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep ini dikenal dengan tempat kediaman para raja dan kiai. Seperti Raja Sultan Abdurrahman (Asta Tinggi Sumenep), Raja Batu Ampar Pamekasan, dan salah satu kiai yang cukup fenomenal, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil ini, adalah keturunan dari para wali songo yakni, Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), dan bersambung hingga Rasulullah SAW. Maka tidak berlebihan jika banyak orang beranggapan bahwa, Syaikhona Kholil dikatakan seorang ulama dan gurunya para kiai se-Jawa dan Madura.
Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan (hal.17-177).
Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU). Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ke tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam buku biografi lengkap Syaikhona Kholil Bangkalan ini, juga menceritakan beberapa kisah karomah Syaikhona yang terkadang sulit dijangkau oleh akal manusia. Seperti dalam kesaksian Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu santri yang sekaligus menjadi khodim (pelayan) Syaikhona Kholil. Suatu ketika Kiai As’ad dipanggil oleh Syaikhona Kholil, diperintah untuk memberikan seutas tasbih dan bacaan asmaul husna “Ya Jabbar Ya Qohhar”, kepada Kiai Hasyim As’ari dan sekaligus memberikan uang 1 ringgit untuk bekal dalam perjalanan. Setelah memberikan uang sebagai bekal dalam perjalanan, tasbih pemberian Syaikhona Kholil akhirnya dikalungkannya kepada leher Kiai As’ad, lalu berangkatlah beliau ke Jombang. Dengan kekuasaan Allah, dalam perjalanan dari Bangkalan hingga sampai di Jombang uang pemberian Syaikhona Kholil tetap utuh. Kejadian ini menurut Kiai As’ad adalah bagian karamah yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.
Jika kita dicermati dengan seksama ternyata pendirian jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), melalui proses waktu yang panjang. Dan proses berdirinya NU ini, menurut penulis tidak lepas dari perjuangan dan peran “Tokoh Empat Serangkai” yakni Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Namun menurut penulis, penyebutan empat ulama tersebut bukan berarti menafikan peran penting ulama lainnya seperti, Kiai Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kiai Ridwan Surabaya, dan Kiai Bisri Sansuri Jombang.
Penulis dan editor kurang selektif dan teliti dalam mengoreksi buku ini, banyak kepenulisan yang salah ketik yang tentunya akan mengganggu kepada pembaca. Namun buku ini tetap menarik untuk kita baca dan kita miliki. Dengan membaca buku Syaikhona Kholil Bangkalan ini, pembaca akan di ajak untuk meneladani perjuangan Syaikhona Kholil dan para ulama lainnya ketika melakukan proses berdirinya NU. Mengingat besar perjuangan para tokoh NU, dengan harapan warga NU khususnya para elit-elit NU mampu mengembalikan NU kepada jati dirinya, yaitu sebagai pengayom umat, penjaga pesantren, dan pengawal tradisi. NU bukanlah kendaraan berpolitik praktis yang tujuannya hanya untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Wallahu a’lam
* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
BAZDA Bantu Siswa Miskin
Rangkasbitung, NU Online
Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) Kabupaten Lebak menggulirkan program Bazda Mengaji dengan memberikan beasiswa kepada anak yatim berprestasi untuk tingkat SD dan SMP. Para siswa yang berprestasi itu akan dibiayai untuk melanjutkan pendidikan di pesantren modern.
“Kami mengalokasikan dana beasiswa untuk program Bazda Mengaji untuk 56 anak dan juga mahasiswa yang hafal Al Quran di Perguruan Tinggi Ilmu Qur an (PTIQ),” kata Wakil Sekretaris Bazda Kabupaten Lebak, Iyan Fitriyana, Selasa (19/6).
Ia menjelaskan, bantuan beasiswa tersebut merupakan program Bazda untuk mendorong Kabupaten Lebak sebagai daerah pendidikan. Saat ini kata dia, pemerintah daerah sedang gencar-gencarnya mengusung kota pendidikan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) dan juga sumber daya manusia (SDM).
Karena itu kata dia, pemerintah daerah akan mendorong anak-anak yang kurang mampu, tetapi berprestasi untuk tetap melanjutkan sekolah melalui beasiswa.“Kami berharap anak-anak yang mendapat beasiswa di pesantren modern benar-benar belajar untuk melahirkan generasi yang berkualitas,” katanya.
Ia menyebutkan, 56 siswa tersebut nantinya disebar di 33 pesantren modern yang ada di Kabupaten Lebak. “Bantuan beasiswa tersebut untuk mengangkat harkat dan derajat umat, sehingga para pelajar memiliki masa depan yang lebih baik,” katanya.
Selain itu kata dia, upaya itu juga untuk menekan angka kemiskinan dan kebodohan di kabupaten Lebak.“Kami terus memprogramkan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu ekonominya,” katanya.
Ia menyebutkan, metode pembelajaran di pondok pesantren modern dipadukan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum dan bahasa asing, termasuk kegiatan ekstrakurikuler.
Pendidikan pesantren modern di Kabupaten Lebak kata dia, sudah memiliki kompetensi, sehingga lulusanya mampu menguasai pengetahuan agama Islam juga Bahasa Arab, Inggris dan Jepang. “Kami menjamin lulusan pesantren modern bisa melahirkan calon-calon cendekia Muslim yang handal,” katanya.
Iyan mengatakan, melalui program tersebut juga diharapkan mencetak lulusan yang mampu menjadi mubalig atau da’i. Selama ini kata dia, da’i di Kabupaten Lebak yang memiliki wawasan intelektual sangat terbatas. “Kami berharap siswa yang mendapat bantuan beasiswa itu nantinya bisa membangun daerahnya sendiri,” pungkasnya.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Candra Zaini
Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) Kabupaten Lebak menggulirkan program Bazda Mengaji dengan memberikan beasiswa kepada anak yatim berprestasi untuk tingkat SD dan SMP. Para siswa yang berprestasi itu akan dibiayai untuk melanjutkan pendidikan di pesantren modern.
“Kami mengalokasikan dana beasiswa untuk program Bazda Mengaji untuk 56 anak dan juga mahasiswa yang hafal Al Quran di Perguruan Tinggi Ilmu Qur an (PTIQ),” kata Wakil Sekretaris Bazda Kabupaten Lebak, Iyan Fitriyana, Selasa (19/6).
Ia menjelaskan, bantuan beasiswa tersebut merupakan program Bazda untuk mendorong Kabupaten Lebak sebagai daerah pendidikan. Saat ini kata dia, pemerintah daerah sedang gencar-gencarnya mengusung kota pendidikan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) dan juga sumber daya manusia (SDM).
Karena itu kata dia, pemerintah daerah akan mendorong anak-anak yang kurang mampu, tetapi berprestasi untuk tetap melanjutkan sekolah melalui beasiswa.“Kami berharap anak-anak yang mendapat beasiswa di pesantren modern benar-benar belajar untuk melahirkan generasi yang berkualitas,” katanya.
Ia menyebutkan, 56 siswa tersebut nantinya disebar di 33 pesantren modern yang ada di Kabupaten Lebak. “Bantuan beasiswa tersebut untuk mengangkat harkat dan derajat umat, sehingga para pelajar memiliki masa depan yang lebih baik,” katanya.
Selain itu kata dia, upaya itu juga untuk menekan angka kemiskinan dan kebodohan di kabupaten Lebak.“Kami terus memprogramkan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu ekonominya,” katanya.
Ia menyebutkan, metode pembelajaran di pondok pesantren modern dipadukan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum dan bahasa asing, termasuk kegiatan ekstrakurikuler.
Pendidikan pesantren modern di Kabupaten Lebak kata dia, sudah memiliki kompetensi, sehingga lulusanya mampu menguasai pengetahuan agama Islam juga Bahasa Arab, Inggris dan Jepang. “Kami menjamin lulusan pesantren modern bisa melahirkan calon-calon cendekia Muslim yang handal,” katanya.
Iyan mengatakan, melalui program tersebut juga diharapkan mencetak lulusan yang mampu menjadi mubalig atau da’i. Selama ini kata dia, da’i di Kabupaten Lebak yang memiliki wawasan intelektual sangat terbatas. “Kami berharap siswa yang mendapat bantuan beasiswa itu nantinya bisa membangun daerahnya sendiri,” pungkasnya.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Candra Zaini
Ikhtiar Pelajar dan Santri Menjaga Degradasi Moral
Tanggal 14-17 Juni
mendatang, Jateng Youth Festival 2012 akan digelar di Kota Wonosobo.
Kegiatan yang digelar oleh Ikatan Pelajar NU Provinsi Jawa Tengah ini
akan diikuti perwakilan pelajar NU se-Jawa Tengah dengan berbagai
kegiatan, seperti perlombaan, pentas seni budaya, donor darah, tanam
pohon dan ikrar kebangsaan 15.000 pelajar.
Ini akan menjadi momentum penting dalam mengkonsolidasi antar generasi di Jawa tengah, khususnya pelajar, santri dan mahasiswa NU. Konsolidasi itu dibutuhkan untuk menyikapi isu-isu penting, agar nantinya kegiatan tersebut memiliki ruh dan tak hanya bersifat ceremonial belaka.
Ditengah kondisi bangsa yang sedang dirundung berbagai masalah, seperti kasus korupsi dan degradasi moral, ada satu tugas penting yang harus dipersiapkan generasi muda hari ini untuk menghadapi modernisasi dan globalisasi yang semakin mengakar di negara ini. Satu hal penting yang dewasa ini mulai rapuh dan pudar ditelan zaman, yaitu moralitas pemuda. Seperti kita semua tahu, kasus narkoba, free sex, tawuran pelajar dan plagiatisme yang menghantui insan akademik kian hari kian mengkhawatirkan. Belum lagi buku-buku pelajaran yang berbau porno sudah masduk ke sistem pendidikan yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah juga semakin menambah daftar carut-marutnya keadaan.
Ini akan menjadi momentum penting dalam mengkonsolidasi antar generasi di Jawa tengah, khususnya pelajar, santri dan mahasiswa NU. Konsolidasi itu dibutuhkan untuk menyikapi isu-isu penting, agar nantinya kegiatan tersebut memiliki ruh dan tak hanya bersifat ceremonial belaka.
Ditengah kondisi bangsa yang sedang dirundung berbagai masalah, seperti kasus korupsi dan degradasi moral, ada satu tugas penting yang harus dipersiapkan generasi muda hari ini untuk menghadapi modernisasi dan globalisasi yang semakin mengakar di negara ini. Satu hal penting yang dewasa ini mulai rapuh dan pudar ditelan zaman, yaitu moralitas pemuda. Seperti kita semua tahu, kasus narkoba, free sex, tawuran pelajar dan plagiatisme yang menghantui insan akademik kian hari kian mengkhawatirkan. Belum lagi buku-buku pelajaran yang berbau porno sudah masduk ke sistem pendidikan yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah juga semakin menambah daftar carut-marutnya keadaan.
Melalui Jateng Youth Festival 2012
diharapkan mampu merumuskan dan merekonstruksi moral pelajar dengan
menyediakan "lahan" untuk mengekspresikan diri dalam organisasi. Lahan
tersebut bisa berupa kajian keagamaan, training, konseling, peningkatan
skill dan penggalian potensi generasi muda dengan format yang up to date
dan menggauli kenyataan, tidak sinetronistik. Hal tersebut penting
dilakukan sebagai salah satu upaya dalam mempersiapkan generasi,
pemimpin dan tokoh yang berkompeten sesuai bidangnya di masa depan.
Hari ini seperti kita tahu, berbagai pansus, badan, lembaga dan institusi sudah sedemikian lengkap dan komplit mulai dari eksekutif, yudikatif sampai legislatif dalam struktur negara kita. Namun, kehadiran intitusi seperti KPK, BNN, BPK sampai dengan ICW yang notabene "swasta" selalu sibuk dan tak pernah sepi dari kasus. Perangkat negara kita begitu komplit dan mendetail seakan semua masalah atau kepentingan sudah ada yang mengurus. Walau begitu, kasus-kasus besar yang amoral menumpuk dan silih berganti yang membawa dampak tidak terealisasinya berbagai kebijakan yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, perbaikan yang secara khusus mengarah ke perbaikan spiritualitas dan moralitas lebih mendesak ditangani dibandingkan dengan ajaran yang menekankan hukum legal-formal. Sebab, seketat apapun hukum di undang-undangkan namun hati manusianya keras dan kotor, maka setiap batasan hukum akan didobraki. Dalam konteks ini, santri dan pelajar NU memiliki peran yang strategis untuk memotong jalur generasi dengan tetap “belajar” dari generasi sebelumnya untuk membangun masa depan. Karena menurut Imam Maliki, suatu bangsa tidak akan maju tanpa berkaca pada generasi maju sebelumnya.
Ketika kolonialisme menancapkan kukunya di Nusantara ini, perlawanan secara beruntut terjadi, misal Perang Trunojoyo (1675-1680), Perang Makassar (1633-1669), Perang Palembang (1818-1921), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1875-1903), Perang Banjar (1854-1864) dan Perang Aceh (1875-1903) dan sebagainya. Jika dilihat dibalik peristiwa tersebut, ternyata keterlibatan kaum santri memiliki peran sangat besar dalam peristiwa heroik melawan penjajah tersebut. Ulama, santri, pesantren, rakyat, doa-doa dan pekik takbir, ikut menyertai perang tersebutii. Tidak seperti sekarang, pekik takbir menyertai penghacuran gedung dan jargon dalam menyikapi perbedaan sesama anak bangsa dengan anarkis.
Konsolidasi antar generasi sesama anak bangsa secara kultural juga telah dijalin oleh mereka yang ketika itu bermukim sebagai pelajar di Makkah. Mereka menyatakan diri sebagai “orang jawi”. Mereka itu adalah bintang-bintang pelajar; seperti Syekh Khatib al Minangkabawi dari Padang, Syekh Arsyad al Banjari dari Banjarmasin, Syekh Abdusshomad al Falimbani dari Palembang, Syekh Mahfudh At Turmasi dari Termas, dan Syekh Nawawi al Bantani dari Banten sebagai Bapak Rohani kaum “Jawi” di Makkah. Jelas “Jawi” disini dalam konteks kebangsaan adalah Indonesia.
Jadi, solidaritas kaum santri atau banyak yang menyebut kaum tradisional tidak hanya dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda, melainkan juga diwujudkan dalam bentuk pengembangan intelektual dan yang paling menonjol tentunya moral questions yang mereka ajarkan melalui ajaran tarekatiii. Inilah yang membuat pengaruh mereka begitu cepat, besar dan meluas sampai hari ini. Dengan ajaran moral, kita tidak hanya diajak untuk melakukan salah dan benar, lebih dari itu yaitu baik dan buruk dan subtansi atas suatu masalah. Hal inilah yang semestinya diresapi oleh generasi muda hari ini khususnya pelajar NU sebagai penerus sejarah panjang doktrin dan nilai-nilai Ahlussunnah wal jamaah yang moderat, toleran dan Inklusif.
Momentum Jateng Youth Festival 2012 hendaknya menjadi memontum yang tepat untuk konsolidasi antar generasi, merevolusi diri dan berpijak kepada khittah yang telah digariskan oleh para ulama dan funding father terdahulu. Sehingga, event akbar tersebut tidak hanya sebatas seremonial dan pragmatis saja. Seperti kata Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sebagai benteng moral terakhir bangsa, santri dan pelajar NU dituntut untuk tidak hanya tahu urusan agama saja, namun juga problem sosial kemasyarakataniv. Untuk mewujudkan hal itu, memang tak mudah bagai membalikkan telapak tangan, butuh kerja keras dan konsistensi. Namun jika hal itu bisa dilakukan, optimisme masa depan yang cemerlang akan hadir ditengah masyarakat. Selain berjuang untuk izzul ulama wa nahdliyyin yang merupakan bagian dari izzul islam wal muslimin, pemuda hari ini merupakan pemimpim di masa depan. Dan gambaran masa depan bisa dilihat dari kondisi dan peran generasi muda saat ini. Wallahu A’lam.
Hari ini seperti kita tahu, berbagai pansus, badan, lembaga dan institusi sudah sedemikian lengkap dan komplit mulai dari eksekutif, yudikatif sampai legislatif dalam struktur negara kita. Namun, kehadiran intitusi seperti KPK, BNN, BPK sampai dengan ICW yang notabene "swasta" selalu sibuk dan tak pernah sepi dari kasus. Perangkat negara kita begitu komplit dan mendetail seakan semua masalah atau kepentingan sudah ada yang mengurus. Walau begitu, kasus-kasus besar yang amoral menumpuk dan silih berganti yang membawa dampak tidak terealisasinya berbagai kebijakan yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, perbaikan yang secara khusus mengarah ke perbaikan spiritualitas dan moralitas lebih mendesak ditangani dibandingkan dengan ajaran yang menekankan hukum legal-formal. Sebab, seketat apapun hukum di undang-undangkan namun hati manusianya keras dan kotor, maka setiap batasan hukum akan didobraki. Dalam konteks ini, santri dan pelajar NU memiliki peran yang strategis untuk memotong jalur generasi dengan tetap “belajar” dari generasi sebelumnya untuk membangun masa depan. Karena menurut Imam Maliki, suatu bangsa tidak akan maju tanpa berkaca pada generasi maju sebelumnya.
Ketika kolonialisme menancapkan kukunya di Nusantara ini, perlawanan secara beruntut terjadi, misal Perang Trunojoyo (1675-1680), Perang Makassar (1633-1669), Perang Palembang (1818-1921), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1875-1903), Perang Banjar (1854-1864) dan Perang Aceh (1875-1903) dan sebagainya. Jika dilihat dibalik peristiwa tersebut, ternyata keterlibatan kaum santri memiliki peran sangat besar dalam peristiwa heroik melawan penjajah tersebut. Ulama, santri, pesantren, rakyat, doa-doa dan pekik takbir, ikut menyertai perang tersebutii. Tidak seperti sekarang, pekik takbir menyertai penghacuran gedung dan jargon dalam menyikapi perbedaan sesama anak bangsa dengan anarkis.
Konsolidasi antar generasi sesama anak bangsa secara kultural juga telah dijalin oleh mereka yang ketika itu bermukim sebagai pelajar di Makkah. Mereka menyatakan diri sebagai “orang jawi”. Mereka itu adalah bintang-bintang pelajar; seperti Syekh Khatib al Minangkabawi dari Padang, Syekh Arsyad al Banjari dari Banjarmasin, Syekh Abdusshomad al Falimbani dari Palembang, Syekh Mahfudh At Turmasi dari Termas, dan Syekh Nawawi al Bantani dari Banten sebagai Bapak Rohani kaum “Jawi” di Makkah. Jelas “Jawi” disini dalam konteks kebangsaan adalah Indonesia.
Jadi, solidaritas kaum santri atau banyak yang menyebut kaum tradisional tidak hanya dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda, melainkan juga diwujudkan dalam bentuk pengembangan intelektual dan yang paling menonjol tentunya moral questions yang mereka ajarkan melalui ajaran tarekatiii. Inilah yang membuat pengaruh mereka begitu cepat, besar dan meluas sampai hari ini. Dengan ajaran moral, kita tidak hanya diajak untuk melakukan salah dan benar, lebih dari itu yaitu baik dan buruk dan subtansi atas suatu masalah. Hal inilah yang semestinya diresapi oleh generasi muda hari ini khususnya pelajar NU sebagai penerus sejarah panjang doktrin dan nilai-nilai Ahlussunnah wal jamaah yang moderat, toleran dan Inklusif.
Momentum Jateng Youth Festival 2012 hendaknya menjadi memontum yang tepat untuk konsolidasi antar generasi, merevolusi diri dan berpijak kepada khittah yang telah digariskan oleh para ulama dan funding father terdahulu. Sehingga, event akbar tersebut tidak hanya sebatas seremonial dan pragmatis saja. Seperti kata Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sebagai benteng moral terakhir bangsa, santri dan pelajar NU dituntut untuk tidak hanya tahu urusan agama saja, namun juga problem sosial kemasyarakataniv. Untuk mewujudkan hal itu, memang tak mudah bagai membalikkan telapak tangan, butuh kerja keras dan konsistensi. Namun jika hal itu bisa dilakukan, optimisme masa depan yang cemerlang akan hadir ditengah masyarakat. Selain berjuang untuk izzul ulama wa nahdliyyin yang merupakan bagian dari izzul islam wal muslimin, pemuda hari ini merupakan pemimpim di masa depan. Dan gambaran masa depan bisa dilihat dari kondisi dan peran generasi muda saat ini. Wallahu A’lam.
* Ahmad Naufa Kh. F. (Ketua Ikatan Pelajar NU Kabupaten Purworejo, masih tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Syariah/Muamalah di STAI An-Nawawi Purworejo).
Langganan:
Postingan (Atom)