Judul: Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama
Penulis: RKH Fuad Amin Imron
Pengantar: Dr KH Said Aqil Siradj, MA
Editor: Nico Ainul Yakin
Penerbit: Kahlista, Surabaya
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: 228 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan
Madura
yang mayoritas penduduknya banyak orang mengatakan kehidupannya berada
di bawah kemiskinan, berwatak keras, mata pencahariannya setiap hari
sebagai petani, pedagang, dan mengadu nasib ke berbagai manca negara.
Meskipun banyak orang yang cenderung mengartikan orang Madura dikenal
mempunyai kepribadian kurang baik, identik dengan kekerasan, padahal
kenyataannya tidaklah demikian. Orang Madura juga mayoritas penduduknya
adalah orang yang taat beragama, ramah, halus santun, seperti orang
Madura yang ada di Kabupaten Sumenep. Semangat dan etos kerja yang
pantang menyerah dan istiqamahnya dalam meraih cita-cita, adalah salah
satu karakter yang dimiliki oleh Madura.
Pulau yang terdiri dari
empat kabupaten, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan
Sumenep ini dikenal dengan tempat kediaman para raja dan kiai. Seperti
Raja Sultan Abdurrahman (Asta Tinggi Sumenep), Raja Batu Ampar
Pamekasan, dan salah satu kiai yang cukup fenomenal, yakni Syaikhona
Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil ini, adalah keturunan dari para wali
songo yakni, Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Sunan Ampel (Raden
Rahmat), Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin), Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah), dan bersambung hingga Rasulullah SAW. Maka tidak
berlebihan jika banyak orang beranggapan bahwa, Syaikhona Kholil
dikatakan seorang ulama dan gurunya para kiai se-Jawa dan Madura.
Sejumlah
murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil
adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab
Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang),
KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun
(Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong
Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak
(Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai
Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai
Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan).
Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh
pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan
Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah
berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan (hal.17-177).
Selain
berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil
adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi
terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU). Dalam
proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah
organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ke tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah
tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim
Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan
tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU).
Dalam buku biografi lengkap Syaikhona Kholil
Bangkalan ini, juga menceritakan beberapa kisah karomah Syaikhona yang
terkadang sulit dijangkau oleh akal manusia. Seperti dalam kesaksian
Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu santri yang sekaligus menjadi
khodim (pelayan) Syaikhona Kholil. Suatu ketika Kiai As’ad dipanggil
oleh Syaikhona Kholil, diperintah untuk memberikan seutas tasbih dan
bacaan asmaul husna “Ya Jabbar Ya Qohhar”, kepada Kiai Hasyim
As’ari dan sekaligus memberikan uang 1 ringgit untuk bekal dalam
perjalanan. Setelah memberikan uang sebagai bekal dalam perjalanan,
tasbih pemberian Syaikhona Kholil akhirnya dikalungkannya kepada leher
Kiai As’ad, lalu berangkatlah beliau ke Jombang. Dengan kekuasaan Allah,
dalam perjalanan dari Bangkalan hingga sampai di Jombang uang pemberian
Syaikhona Kholil tetap utuh. Kejadian ini menurut Kiai As’ad adalah
bagian karamah yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.
Jika
kita dicermati dengan seksama ternyata pendirian jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU), melalui proses waktu yang panjang. Dan proses berdirinya NU
ini, menurut penulis tidak lepas dari perjuangan dan peran “Tokoh Empat
Serangkai” yakni Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai
Wahab Hasbullah, dan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Namun menurut penulis,
penyebutan empat ulama tersebut bukan berarti menafikan peran penting
ulama lainnya seperti, Kiai Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kiai Ridwan
Surabaya, dan Kiai Bisri Sansuri Jombang.
Penulis dan editor
kurang selektif dan teliti dalam mengoreksi buku ini, banyak kepenulisan
yang salah ketik yang tentunya akan mengganggu kepada pembaca. Namun
buku ini tetap menarik untuk kita baca dan kita miliki. Dengan membaca
buku Syaikhona Kholil Bangkalan ini, pembaca akan di ajak untuk
meneladani perjuangan Syaikhona Kholil dan para ulama lainnya ketika
melakukan proses berdirinya NU. Mengingat besar perjuangan para tokoh
NU, dengan harapan warga NU khususnya para elit-elit NU mampu
mengembalikan NU kepada jati dirinya, yaitu sebagai pengayom umat,
penjaga pesantren, dan pengawal tradisi. NU bukanlah kendaraan
berpolitik praktis yang tujuannya hanya untuk meraih kekuasaan dan
jabatan. Wallahu a’lam
* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar