Nasionalisme
muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme)
yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya
dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosio kultural yang ada di masing-masing
negara.
Pada
mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas persamaan-persamaan
darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa
dan kebudayaan. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang
hidup di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan
manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Lambat
laun ada unsur tambahan, yaitu dengan adanya persamaan hak bagi setiap orang
untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakat (demokrasi politik dan
demokrasi sosial) serta adanya persamaan kepentingan ekonomi. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah nasionalisme modern.
Dilihat dari
sejarah perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul menjadi kekuatan
penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Di Amerika Utara
misalnya, bahwa nasionalisme lahir karena perluasan dibidang perdagangan
kira-kira pada 1000. Ada
pula yang berpendapat bahwa manifestasi nasionalisme muncul pertama kali di
Inggris pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Namun dari beberapa
pendapat tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa munculnya nasionalisme berawal
dari Barat (yang diistilahkan oleh Soekarno sebagai nasionalisme Barat) yang
kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan. Dengan kalimat lain bahwa, “As a
historical symptom, nationalism emerged as the response to a political,
economic, social, and cultural context, particularly the one brought on
by colonialism”. Yaitu sebagai gejala historis, munculnya nasionalisme
merupakan respon terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama
respon terhadap penjajahan.
Di
Indonesia, gerakan nasionalisme mulai bangkit pada tahun 1908 yang ditandai
dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo”. Hal ini serupa dengan yang ditulis
oleh Charles Wolf. Jr., yaitu: The formal nationalist movement in the Indies began in Java in 1908 with the organization of the
Boedi Oetomo. Namun bentuk nasionalisme yang berkembang pada saat itu
kebanyakan masih bersifat kedaerahan kelompok, belum pada tataran kenegaraan.
Seperti
halnya Indonesia
yang merupakan negara bekas jajahan wilayah Timur menurut pandangan Partha
Chatterjee bahwa dalam hal pemikiran maupun gagasan kaum nasionalis tetap
mengadopsi pemikiran Barat dalam usaha menemukan ideologi pasca kemerdekaan,
yaitu nasionalisme yang bersifat antikolonialisme. Nasionalisme
antikolonialisme memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk
institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah
"dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan
teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau
harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain,
adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari
identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat
dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya
spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial
mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Kendati
demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah statis, melainkan
terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial
dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan
apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat. Hasil dari
pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik antara
spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat
pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda
dari Barat.
Dikotomi
antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan Chatterjee pada
satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa.
Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam
masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian
dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba
mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan
berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa
bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur.
Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat
dari upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme
yang memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan
budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.
Orientasi
spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang dilontarkan oleh
Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya,
Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah
konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350
tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari
bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia .
Selain itu,
menurut kacamata keagamaan, Indonesia
yang merupakan Negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam memiliki cara
pandang tersendiri. Sebagaimana kaum nasionalis muslim yang bergerak dan
bersatu dalam ruang organisasi keislaman berupa Sarekat Islam yang dipimpin
oleh Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Pada dasarnya, pemikiran maupun
pergerakan mereka adalah mencoba mengapilkasikan pemikiran yang bersumber pada
Islam yaitu Alquran dan Hadits yang notabene menyeru pada persatuan dan anti
bercerai berai antar umat manusia. Dalam Islam, kebangsaan atau cinta tanah
air adalah merupakan sebagian dari Iman, sebagaimana doktrin hubbul wathan
minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman). Sebagai
kepercayaan, Islam menentang semangat memusuhi bangsa lain, dan sikap yang
demikian ini merupakan ciri nasionalisme. Bukan tanpa alasan mengapa
Tjokroaminoto maupun nasionalis muslim lain berkeyakinan dan berprinsip
demikian, karena jauh sebelum nasionalisme menggapai bumi Indonesia , di
beberapa negara Islam nasionalisme sudah terlebih dulu diterapkan.
Dalam
perkembangannya, nasionalisme yang muncul secara tidak langsung mengilhami
bentuk-bentuk ideologi sekaligus dijadikan sebagai falsafah kenegaraan.
Sehingga cinta tanah air tidak hanya sebatas merebut dan mempertahankan
kemerdekaan melainkan juga mempunyai banyak nilai – nilai luhur ynag bernilai
pendidikan. Dengan adanya akar nasionalisme sebagai rasa cinta tanah air, maka
disitu pula akan tumbuh sikap patriotisme, rasa kebersamaan, kebebasan,
kemanusiaan dan sebagainya. Karena nasionalisme dibangun oleh kesadaran
sejarah, cinta tanah air, dan cita-cita politik. Nasionalisme menjadi faktor
penentu yang mengikat semangat serta loyalitas untuk mewujudkan cita-cita
setiap negara.
Decki
Natalis Pigay Bik, Evolusi Nasionalisme Dan Sejarah Konflik Politik
Di Papua,( Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan,2002)
Ensiklopedi
Nasional Indonesia jilid11,op.cit
Fuad Jabali
And Ismatu Ropi(ed), Islam And Islam Formation In Indonesia From
Communicatarian To Organizational Communications,( Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2000)
Charles Wolf
Jr. The Indonesian Story( The Birth, Growth And Structure Of The Indonesian Republic ),( New York: The
John Day Company, 1948)
Hazem Zaki
Nusaibeh, Gagasan – Gagasan Nasionalisme Arab,( Jakarta: Bhratara, 1969)
John l.
Esposito, Islam Dan Politik, ( Jakarta: Bulan Bintang,1990)
Dwi
purwoko,(eds), Negara Islam(?), Jakarta: PT. Permata Artitika Kreasi,
2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar