Achmad Zamzami Amf
Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
Sorotan tajam, kepemimpinan yang belum
menciptakan iklim dimulainya suatu pemerintahan yang bersih ke dalam
serta membangkitkan gelombang kebersihan ke seluruh birokrasi serta
lingkungan masyarakat, termasuk elite politik maupun masyarakat bisnis.
Lagi-lagi tergiang kata bersayap
pujangga Friedrich von Schiller yang sering dikutip Bung Hatta “zaman
besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan
manusia kerdil”. Sekurang-kurangnya suatu zaman pancaroba dan zaman
peralihan menerpa bangsa Indonesia. Seorang pemimpin diperlukan.
Pemimpin macam apa.
Pertanyaan pemimpin macam apa
semakinmendesak, ketika orang melihat ke kiri dan ke kanan dan tidak
pula merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tangtangan zaman. Suatu
hasil polling menunjukkan dari kalangan muda pun, sosok-sosok pemimpin
belum tampil secara meyakinkan.
Demikianlah, pemimpin disorot sebagai
persoalan besar yang dihadapi bangsa. Suatu konsidensi yang mencerahkan
pun tiba. Pada tanggal 12 Agustus 2002 genaplah usia Bung Hatta.
Peringatan seabad pejuang, pendiri bangsa dan koproklamator bergaung
luas dan marilah kita cerna agar bergaung mendalam pula.
Zaman besar di masa lampau, yakni zaman
kebangkitan, pergerakan dan perjuangan kemerdekaan telah berhasil
menemukan orang-orang besar pula. Mereka itulah para penggerak dan
pendiri bangsa. Beberapa mencuat dan menonjol di atas rekan-rekan se
zamannya. Seorang di antaranya adalah Mohammad Hatta.
Sungguh suatu anugerah zaman, bahwa
seabad peringatannya jatuh ketika kita, bangsa Indonesia, sedang membuka
mata-telinga, pikiran dan hati untuk belajar dari pengalaman sejarah
bangsa sendiri serta pengalaman sejarah bangsa-bangsa lain.
Setiap pemimpin bangsa meninggalkan
sosok, kepribadian, karakter, visi, komitmen, serta pergulatan dan suri
tauladan yang dapat diambil hikmahnya. Untuk menghadapi pancarobanya
perubahan zaman seperti kita jalani sekarang ini, sosok Bung Hatta
benar-benar suatu mercusuar.
Ambillah tugas pemimpin yang paling
mendesak dewasa ini, ialah menyelenggarakan pemerintah dan pemerintahan
yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, kesempatan,
dan koneksi. Dan dengan demikian juga suatu pemerintah yang mau dan
mampu menghentikan proses degradasi dan demoralisasi bangsa dalam urutan
yang paling sentral dan menentukan yakni penyelenggaraan kekuasaan.
Bung Hatta berpuluh tahun berada di
sentral kekuasaan. Ia mempunyai modal pengabdian yang sekiranya ia
kemudian akan menagihnya untuk kepentingan pribadi, masyarakat dan
lingkungan akan menenggangnya. Ia tidak memanfaatkannya. Ia tidak
memanfaatkan sampai akhir hayatnya.
Pemimpin-pemimpin lain jatuh bangun,
terutama dalam ranah penggunaan kekuasaan dan kesempatan. Bung Hatta
uncorruptable, tak terkorupsikan ketika memegang kekuasaan. Tidak pula
memanfaatkan modal pengabdian maupun koneksi, ketika dengan sukarela
meninggalkan kekuasaan.
Patut dipelajari, mengapa ia sanggup tak
terkorupsikan sementara yang lain-lain, termasuk Bung Karno jatuh
bangun. Ada elemen keagamaan pada sosok pribadinya yang difahami serta
dihayati secara serius sekaligus dengan pandangan yang tercerahkan oleh
pendalamannya terhadap falsafah Barat dan Marxis. Begitu di antaranya,
penjelasan Malvin Rose, penulis biografi politik Mohammad Hatta.
Faham dan perjuangannya menegakkan
Kedaulatan Rakyat dipengaruhi latar belakang Minangkabau yang egaliter
serta lebih bebas dari struktur dan kultur feodal daripada di Jawa.
Sesuai pula dengan kepribadiannya yang introver dan kaku, jika ia secara
konsisten dan secara konsekuen menempuh jalan lurus.
Namun ada hal lain yang terutama untuk
zaman sekarang, perlu ditegaskan. Mohammad Hatta berhasil menumbuhkan
pada pribadinya, pilihan dan komitmen asketisme. Yakni asketisme seorang
pemimpin. Lagi-lagi kata Malvin Rose, ia mendisiplinkan diri sendiri
untuk menekan nafsu dan emosi alamiah dengan cara memusatkan seluruh
jati dirinya pada pencapaian kemerdekaan Indonesia.
Ia barulah berkeluarga setelah Indonesia
Merdeka. Ia melanjutkan asketismenya dalam menyelenggarakan kekuasaan
dan ketika berada di tengah kekuasaan. Kecuali pemahaman, asketisme
seperti dihayati oleh Bung Hatta adalah soal pilihan. Memang pilihan itu
menjadi bagian bahkan faktor yang menentukan apakah kepemimpinannya
berhasil atau tidak Mengenai pilihan ini, sebaiknya ditegaskan dan
dipahami. Semua pekerjaan, profesi dan jabatan kecuali pertimbangan dan
dimensi pribadi juga mempunyai dimensi kemasyarakatan. Tetapi pastilah
berbeda pertimbangan, dimensi serta implikasi dan konsekuensinya, apakah
seseorang memilih sebagai ilmuwan, sebagai pebisnis atau sebagai
politikus.
Di masa lampau, ketika ekonomi pasar dan
konsumerisme global dan lokal belum semerajalela sekarang,
pilihan-pilihan lebih sederhana. Tetapi betapapun zaman berubah,
terutama dengan merajalelanya konsumerisme dan materialisme kapitalis,
toh pilihan-pilihan itu tetap memiliki konsekuensi dan implikasi
masing-masing. Termasuk tentu saja anugerah, imbalan serta
pengakuannya.Kalau Hatta memilih sebagai pedagang, ia pun akan berhasil
amat jauh. Tetapi dengan sadar, sejak muda, ia memilih bidang lain.
Bidang pengabdian politik untuk memerdekakan bangsa dan negaranya, untuk
mendidik dan mencerahkan rakyat, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan
keadilan sosial.
Memang lebih berat pilihan menempuh
jalur pengabdian politik untuk zaman sekarang. Tetapi, pilihan toh
sukarela. Bisa saja, jalur tidak selalu merupakan pilihan yang dipilih
secara sadar sejak semula. Apalagi dalam masa peralihan yang
berpancaroba, jalur bisa karena untung-untungan.
Tetapi, begitu atau pilihan sadar atau
koinsidensi membawanya, harus dipahami dan disadari pilihan jalur
politik, kepemimpinan politik pada semua jenjangnya, apalagi pada
jenjang–jenjang tinggi, membawa konsekuensi dan implikasinya.
Tentu saja, kebanggaan, imbalan,
pengakuan bahkan fulfillment, pemunculan diri dalam pekerjaannya, tetapi
ada. Berbeda, tetapi ada dan semuanya membanggakan Pada Hatta dan
pemimpin sezamannya, pilihan dibuat sejak muda. Otaknya cerdas.
Ketekunannya luar biasa. Mengapa rencana studinya di Belanda yang
direncanakan 5 tahun molor menjadi 11 tahun? Ia sibuk memimpin
Perhimpunan Indonesia, organisasi orang-orang muda Indonesia yang
belajar di Belanda. Ia menghadiri konferensi internasional di mana-mana
di Eropa, memperkenalkan cita-cita, perjuangan, dan tujuan Indonesia
Merdeka. Ia sekaligus lewat tulisan dan diskusi, merumuskan tujuan
Indonesia Merdeka, falsafah Indonesia Merdeka. Ia membina lewat
Perhimpunan Indonesia dan forum lain, terwujudnya Indonesia Baru, yang
merdeka, berkedaulatan rakyat, adil-makmur, maju, terbuka, hadir secara
independen dan aktif dalam pergaulan bangsa-bangsa.
Pilihan sejak muda dan karena itu juga
konsekuensinya, yakni persiapan sejak muda, itulah pelajaran lain dari
sosok Hatta bagi generasi muda Indonesia. Tidaklah berarti, tidak
terbuka pilihan yang menyusul kemudian, tetapi pilihan kemudian pun,
harus dipahami konsekuensi, implikasi serta tuntutannya. Bung Karno amat
kuat karismanya apalagi untuk rakyat banyak. Bung Hatta bukannya sosok
tanpa karisma. Karismanya terhadap rakyat banyak tidak sekuat Bung
Karno, tetapi terhadap setiap lingkungannya otoritas dan kredibilitas
Hatta terasa. Karisma itu terpancar dari sosok pribadinya yang
berintegritas tinggi serta kompeten.
Bung Hatta percaya kepada rakyat. Karena
itu, ia konsisten dan konsekuen menegakkan Kedaulatan Rakyat. Ia pun
sadar, rakyat perlu dididik. Dididik untuk membaca dan menulis agar
terbuka pintu untuk menimba pengetahuan dan pengalaman. Seperti pemimpin
pergerakan lainnya, ia mengajar di sekolah, terutama ia juga mengajar
lewat media seperti Daulat Rakyat serta pendidikan kader.
Meskipun caranya tidak se-vokal Bung
Karno, Hatta pun mementingkan pendidikan karakter rakyat. Mandiri, tahu
hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab. Dipengaruhi serta
dicerahkan lewat pendidikan dan pergaulannya selama 11 tahun sudi dan
bergerak di Eropa, Bung Hatta juga sampai pada pemahaman, Indonesia
Merdeka bukan saja dalam makna politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan
budaya. Bung Hatta berulangkali memperingatkan kemungkinan jebakan
feodalisme, maka ia pun terus-menerus memperjuangkan demokrasi yang
bertumpu pada kedaulatan rakyat.
Sejarah katanya tidak kenal andaikata.
Namun sebagai bahan pelajaran dan pengalaman, bukankah Indonesia akan
lain fase perkembangnnya, andaikata Bung Karno sebagai Presiden dan
pemimpin bangsa serta Hatta sebagai juga pemimpin dengan
menyelenggarakan pemerintah. Yang kemudian tidak tersentuh, bahkan
tumbuh sebagai jebakan baru adalah proses emansipatoris bangsa dalam
bidang sosial dan budaya, terutama dalam kaitannya dengan bangkitnya
lagi feodalisme, baik kultur maupun strukturnya. Dalam alam dan suasana
itu, baik ekonomi etatisme maupun ekonomi pasar tidak sanggup
menghasilkan kemakmuran yang merata bagi rakyat. Yang dihasilkan baik
dalam ekonomi etatisme maupun dalam ekonomi pasar adalah kemakmuran
untuk orang-seorang yang berada dalam kekuasaannya dan lingkungannya
serta kesenjangan besar bagi rakyat banyak.
Bung Hatta terpanggil untuk pembangunan
ekonomi yang berkeadilan sosial yang memperbaiki dan meratakan
kemakmuran kepada rakyat, memilih jalan koperasi. Tetapi koperasi yang
dipilihnya adalah gerakan koperasi di negara-negara Skandinavia.
Negara-negara itu bukan berekonomi negara seperti negara-negara komunis.
Negara-negara itu, seperti berkembang lebih nyata di kemudian hari,
mengacu kepada kerangka referensi ekonomi masyarakat, sebutlah ekonomi
pasar sosial. Lagipula, betapapun dimensi politik dalam arti mandat
keadilan sosial adalah kental pada ekonomi koperasi, tetapi gerakan itu
adalah gerakan dan disiplin sosial ekonomi. Inilah yang juga
disalahartikan ketika koperasi diterapkan di negeri kita. Akhirnya
sampai sekarang ini, koperasi lebih merupakan lembaga dan gerakan yang
kosong dan tidak memadai hasilnya. Bahkan juga terkena imbas salah guna
kekuasaan dan kesempatan. Koperasi lebih menyuburkan pengurus daripada
anggotanya.
Mengapa sosok kepemimpinan Hatta
sangatlah relevan dan aktual untuk menumbuhkan kepemimpinan serta
menjawab tantangan masa kini? Karena amatlah jelas, contoh, teladan
pimpinan yang kecuali cerdas, cakap, efektif juga bersosok asketis
amatlah diperlukan kini dan mendatang. Adalah teladan yang ibaratnya
dapat menggerakkan gunung dewasa ini. Di mulai dari pimpinan yang
menyinarkan teladan. Segera diikuti oleh suatu kecerdasan dan kecakapan,
bahwa untuk memimpin atau menyelenggarakan pemerintah di Indonesia yang
berpenduduk besar; berkepulauan majemuk serta mengalami krisis dan
pancaroba sekarang ini, diperlukan Tim. Tim pemerintah dan pemerintahan.
Orang-orang bersosok, berkarakter,
memiliki kecerdasan dan kecakapan dalam bidangnya yang bekerja sama,
menggerakkan roda pemerintahan sehingga tidak sekedar omong dan rapat,
tetapi “get things done” terlaksana. Sosok Hatta yang kecuali cerdas dan
cakap juga efektif, karena ketekunannya, karena mau mengontrol dan mau
check and recheck. Menggerakkan bahkan turun kelapangan secara langsung
dan tidak langsung. Karena kehabisan akal, dewasa ini, amat sering kita
dengar pernyataan dari mana mulai dan bagaimana? Mengacu kepada Hatta,
amatlah jelas jawabannya, mulai dari diri sendiri, bahkan padanya mulai
dari diri sendiri secara konsisten dan konsekuen melawan arus. Mulai
dari lingkungan masing-masing. Tidak saling menunggu, justru saling
mendahului. Di mana rakyat berada dan apa peranannya? Sekali lagi,
terutama mengingat kondisi kita dewasa ini, pemimpin dan pemerintahlah
yang harus memulai dengan memberi contoh yang efektif. Tetapi, sesuai
dengan prinsip Kedaulatan Rakyat serta sesuai dengan tanggung jawab yang
juga bergeser kepada publik, masyarakat pun terpanggil mengambil
tanggung jawab lebih besar dan lebih efektif. Bukan sekadar melek huruf
yang merupakan pendidikan rakyat, kata Bung Hatta, tetapi bahkan juga
terutama karakternya. Karakter rakyat. Apakah untuk zaman kita,
pendidikan karakter rakyat sama atau kental konotasinya dengan
pendidikan masyarakat kewargaan, masyarakat madani, civil society?
Kertas dan karya para Founding Fathers
negara lain seperti Amerika Serikat, dikumpulkan dan diterbitkan. Bukan
untuk disimpan dalam museum, tetapi untuk bekal pelajaran sejarah dan
untuk terus dikembangkan, dikaji ulang serta diperkaya untuk menjawab
perkembangan dan tantangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar