Rabu, 09/05/2012 14:32
Sebenarnya Bagaimana definisi atau konsep syariah mengenai korupsi? Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), dan perampokan (nahb).
Abdullah bin Husain Al-Ba’lawi dalam Is’ad al-Rafiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq menerangkan:
(وَ)
مِنْهَا (السَّرِقَةُ) بِفَتْحِ السِّيْنِ وَكَسْرِ الرَّاءِ وَيَجُوْزُ
إِسْكَانُهَا، وَهِيَ أَخْذُ الْمَالِ خُفْيَةً، وَهِيَ مِنَ الْكَبَائِرِ
اتِّفَاقًا. قَالَ فِي الزَّوَاجِرِ: وَهُوَ صَرِيْحُ اْلأَحَادِيْثِ
كَحَدِيْثِ: "لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ
يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ"، وَفِي رِوَايَةٍ
إِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ.
فَإِنْ تَابَ، تَابَ اللهُ عَلَيْهِ، وَحَدِيْثِ: "لَعَنَ اللهُ السَّارِقُ
يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ
يَدُهُ". قَالَ اْلأَعْمَشُ: "كَانُوْا يَرَوْنَ ثَمَنَ بَيْضَةِ
الْحَدِيْدِ وَالْحَبْلَ ثَلاَثَةَ دَرَاهِمَ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ
اْلأَحَادِيْثِ الْكَثِيْرَةِ. قَالَ وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِيْ
كَوْنِهَا كَبِيْرَةً بَيْنَ الْمُوْجِبَةِ لِلْقَطْعِ وَغَيْرِهَا إِذَا
كَانَتْ لاَ تَحِلُّ كَأَنْ سَرَقَ حَصْرَ مَسْجِدٍ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ
لَكِنْ لاَ قَطْعَ بِهَا لِأَنَّ لَهُ فِيْهَا حَقًّا ثُمَّ رَأَيْتُ
الْهَرَوِيَّ صَرَحَ بِهِ.
(Dan) di antara dosa besar adalah (sariqah -pencurian-), dengan
dibaca fathah huruf sin dan kasrah huruf ra’nya. Yaitu mengambil harta
-yang bukan miliknya) secara sembunyi-sembunyi. Menurut kesepakatan para
ulama perbuatan pencurian termasuk dosa besar. Dalam al-Zawajir Ibn
Hajar al-Haitami menyatakan: “Itu merupakan pernyataan yang sangat jelas
dari beberapa hadits, semisal hadits: “Seorang pezina tidak melakukan
perzinahan dalam kondisi ia beriman dan seorang pencuri tidak melakukan
pencurian dalam kondisi ia beriman.“ Dalam riwayat lain dengan redaksi:
“Jika ia melakukan hal tersebut maka ia telah menanggalkan hukum Islam
dari dirinya. Jika ia bertobat maka Allah menerima tobatnya.” Dan
hadits: “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebiji telur
sehingga menyebabkan tangannya dipotong, dan yang mencuri seutas tali
sehingga tangannya dipotong.“ Al-A’masy menjelaskan: “Para sahabat Nabi
menilai harga telur (helm baja untuk perang) dan tali (kapal) sampai
tiga dirham. Dan beberapa hadits lain yang cukup banyak. Ibn Hajar
menjelaskan: “Yang jelas sungguh tidak ada perbedaan dalam hal pencurian
itu merupakan dosar besar, antara pencurian yang mengakibatkan hukuman
potong tangan dan yang tidak, jika yang diambil memang tidak halal
baginya. Semisal ia mengambil tikar masjid, maka hukumnya haram, akan
tetapi tidak mengakibatkan hukuman potong tangan, karena ia memiliki
bagian hak dalam tikar masjid itu. Kemudian saya melihat al-Imam
al-Harawi secara jelas menyatakan hal tersebut.”Karena ulama mengqiyaskan korupsi dengan mencur,i maka hukuman bagi pelakunya adalah potong tagan sampai dengan hukuman mati. sekaligus dituntut untuk mengembalikan apa yang telah dikorupnya. Hal ini jelas diterangkan oleh Muhammad bin Mansur al-Jamal dalam Futuhat al-Wahhab bi Taudih Syarh Manhaj al-Thullab
وَقَالَ
مَالِكٌ إِنْ كَانَ غَنِيًّا ضَمِنَ وَإِلاّ فَلاَ وَالْقَطْعُ لاَزِمٌ
بِكُلِّ حَالٍ وَلَوْ أَعَادَ الْمَالَ الْمَسْرُوْقَ إِلَى الْحِرْزِ لَمْ
يُسْقِطْ الْقَطْعَ وَلاَ الضَّمَانَ
Imam Malik berkata: “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang
kaya, maka ia menanggung pengembaliannya, dan jika ia bukan orang kaya,
maka tidak harus. Dan Hukuman potong tangan tetap berlaku pada semua
kondisi. Bila ia mengembalikan harta curian ke tempat penyimpanan
(semula), maka tidak menggugurkan hukuman potong tangan dan
tanggungjawab mengembalikannya.Begitu pula yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
وَالْخُلاَصَةُ
أَنَّهُ يَجُوْزُ الْقَتْلُ سِيَاسَةً لِمُعْتَادِى اْلإِجْرَامِ
وَمُدْمِنِي الْخَمْرِ وَدُعَاةِ الْفَسَادِ وَمُجْرِمِي أَمْنِ
الدَّوْلَةِ وَنَحْوِهِمْ
Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai
kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal,
pecandu minuman keras, para penganjur tindak kejahatan, dan pelaku
tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya.Mengani hal ini sangat baik untuk ditelaah kembali apa yang ditulis oleh Muhammad bin Abi bakar al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
قَالَ
الْعُلَمَاءُ وَالْغُلُوْلُ كَبِيْرَةٌ مِنَ الْكَبَائِرِ بِدَلِيْلِ
هَذِهِ اْلآيَةِ وَمَا ذَكَرْنَا مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
أَنَّهُ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ وَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ
مِدْعَمٍ وَالَّذِى نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّ الشَّمْلَةَ الَّتِيْ أَخَذَ
يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ الْمَغَانِمِ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ
لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا قَالَ فَلَمَّا سَمِعَ النَّاسُ ذَلِكَ
جَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أَوْ شِرَاكَيْنِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ شِرَاكٌ أَوْ شِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ أَخْرَجَهُ فِي
الْمُوَطَّاءِ فَقَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ وَامْتِنَاعُهُ مِنَ الصَّلاَةِ عَلَى مَنْ غَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى
تَعْظِيْمِ الْغُلُوْلِ وَتَعْظِيْمِ الذَّنْبِ فِيْهِ وَأَنَّهُ مِنَ
الْكَبَائِرِ وَهُوَ مِنْ حُقُوْقِ اْلأَدَمِيِّيْنَ وَلاَ بُدَّ فِيْهِ
مِنَ الْقِصَاصِ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ
Para ulama berkata: “Perbuatan khianat (korupsi) merupakan bagian
dari dosa besar berdasarkan ayat ini. Dan hadits yang telah kami
sebutkan dari riwayat Abu Hurairah Ra.; ”Sungguh ia akan memikul
hutangnya di lehernya.“ Rasulullah Saw. Sungguh telah bersabda tentang
Mid’am (seorang budak): “Aku bersumpah demi Dzat yang jiwaku ada dalam
kekuasanNya. Sungguh selendang selimut yang ia ambil di hari peperangan
Khaibar yang merupakan harta pampasan perang yang diambil oleh pegawai
pembagian harta, akan menyalakan api neraka baginya.” Setelah mendengar
penjelasan itu lalu ada yang datang kepada Rasulullah Saw. menyerahkan
satu atau dua utas tali sandal, lalu beliau Saw. bersabda: “Seutas tali
dan dua utas tali sandal dari itu dari api neraka.” Hadits itu
diriwayatkan Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’. Maka sumpah Nabi Saw.
dengan kaliamat: “Demi Dzat yang jiwaku ada alam kekuasanNya.” dan
penolakannya menyolati orang yang telah melakukan pengkhianatan
(korupsi) merupakan dalil atas parahnya perbuatan tersebut, begitu besar
dosanya, ia termasuk dosa besar yang terkait dengan hak-hak orang lain
dan di dalamnya harus diberlakukan qishash terkait amal kebajikan dan
amal jeleknya.
Disarikan dari Hasil Keputusan Musyawarah
Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Di Asrama Haji Pondok Gede. Jakarta,
25-28 Juli 2002 (Redaktur: Ulil A. Hadrawy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar